Jakarta – Komite Solidaritas untuk Perjuangan Buruh Nanbu (KSPBN) melakukan demonstrasi memprotes kasus kecelakaan kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Aksi pertama digelar di depan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (PT TMMIN) di Sunter, Jakarta Utara, pada Minggu (8/04/2018). Selanjutnya aksi dilakukan di 12 kota, yakni, Jakarta, Bekasi, Jakarta, Bandung, Ternate, Morotai, Sula, Tobelo, Ambon, Kupang, Tarakan, Makassar, Manado, Yogyakarta, pada hari berikutnya, Senin (9/04/2018).
Aksi ini dilatarbelakangi oleh kasus kecelakaan kerja yang terjadi di pabrik subkontraktor Toyota, PT. Nanbu Plastics Indonesia yang berlokasi di Kawasan Industri MM2100, Cibitung, Kabupaten Bekasi. Seorang buruh perempuan bernama Atika Nafitasari mengalami kecelakaan kerja pada 26 September 2016. Jari tengah kanannya terpotong saat dia menjalankan mesin press.
Saat kecelakaan kerja, Atika tidak memiliki kartu BPJS Ketenagakerjaan, padahal dia telah bekerja selama 9 bulan di PT. Nanbu. Atika baru mendapatkan tindakan operasi setelah 19 jam. Potongan jarinya yang sempat disimpan di freezer, tidak dapat disambung kembali. Setelah setahun berlalu, bekas luka Atika kembali berdarah dan bernanah pada Desember 2017.
Serikat Buruh Bumi Manusia PT Nanbu Plastics Indonesia (SEBUMI PT NPI) meminta kepada manajemen PT NPI agar menjadikan Atika sebagai karyawan tetap di perusahaan. Dasar hukumnya adalah Pasal 59 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenaker 100/2004 tentang Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Selain itu, Pasal 153 ayat (1) huruf (j) UU Ketenagakerjaan juga menyebutkan ” Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.”
SEBUMI PT. NPI juga menuntut 9 pekerja PKWT lainnya diangkat menjadi karyawan tetap dengan mengacu pada Pasal 59 UUK dan Permenaker 100/2004. Perundingan antara pihak serikat pekerja dan pengusaha dilakukan sebanyak tiga kali pada 10 Januari 2018, 17 Januari 2018 dan 19 Januari 2018. Namun, perusahaan tidak bersedia melakukan pengangkatan.
Buruh menilai tuntutannya masih wajar jika melihat dari jumlah buruh kontrak di Nanbu yang terbilang tidak wajar, yakni sebanyak 305 orang dari 648 pekerja. Penggunaan buruh kontrak dibatasi di bagian produksi yang bersifat sementara, musiman, produk baru dan selama tidak lebih dari tiga tahun.
“Nanbu sudah berdiri selama 8 tahun sejak 2010,” tulis KSPBN dalam pernyataan sikapnya.
SEBUMI PT NPI melaporkan kasus ini kepada Bidang Pengawasan Wilayah II Jawa Barat pada 13 Februari 2018. Masalah kecelakaan kerja Atika juga dilaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan Kab. Bekasi pada 01 Maret 2018. Serikat buruh berharap agar ada pihak yang dapat bertanggung jawab untuk pengobatan luka Atika yang belum sembuh. Tapi hasilnya nihil.
Akhirnya, pada 8 Maret 2018, SEBUMI PT. NPI melakukan aksi di depan PT TMMIN untuk menyampaikan masalah kecelakaan kerja yang terjadi di PT Nanbu. Pengusaha berupaya menghalangi dengan mengirimkan surat tidak memberikan izin aksi nomor 026/NPI-HRD/II/2018 yang ditandatangani oleh Richard Sinanu pada tanggal 23 Februari 2018. SEBUMI PT NPI tetap melakukan aksi sebagai rencana semula.
Pada 2-3 April 2018, pihak pengusaha melakukan PHK terhadap lebih dari 30 buruh Nanbu. Dalam surat nomor NPI-2018/EXT/HRGA-II/01 yang dilayangkan kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi pada 3 April 2018, disebutkan perusahaan telah melakukan pengurangan karyawan kontrak dan permanen sebanyak 61 orang. Salah satu alasan yang disebut di dalam surat tersebut adalah “mengikuti demo dan aksi baik di PT Nanbu Plastics Indonesia atau di customer PT Nanbu Plastics Indonesia beberapa waktu lalu…”
Buruh diusir dari pabrik di bawah pengawalan sekuriti dan milisi sipil (preman). Buruh hanya diberikan waktu selama 15 menit untuk berkemas. Polisi terlihat berjaga di lingkungan pabrik, bersama dengan tentara. Keberadaan tentara di pabrik dinilai melanggar UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Sebagai respon atas PHK, sebanyak 33 buruh menyatakan menolak PHK dan tetap ingin bekerja di perusahaan. Pengusaha dinilai telah melakukan pemberangusan terhadap serikat pekerja, menghalang-halangi kebebasan berpendapat di muka umum, melakukan penyimpangan PKWT dan mengabaikan korban kecelakaan kerja. Yang paling baru, perusahaan juga melakukan PHK terhadap buruh perempuan yang sedang hamil 6 bulan.
Menolak Dijajah
Dalam spanduk aksinya, KSPBN menyatakan “Jepang Toyota Kembali Menjajah Indonesia”. Menurut koordinator KSPBN, Samsi Mahmud, penjajahan modal Jepang di Indonesia adalah fakta yang terjadi selama 40 tahun lebih.
“Sejak tahun 1974, perusahaan-perusahaan Jepang termasuk Toyota, mendapatkan kemudahan investasi di bawah rezim Suharto Orde Baru. Kemudahan tersebut mencakup upah buruh yang murah dan status kerja buruh yang fleksibel dalam bentuk buruh kontrak (PKWT), outsourcing dan pemagangan,” ungkapnya.
Sebagai hasilnya, industri otomotif di Indonesia dikuasai oleh pabrikan Jepang. Pabrikan Jepang menguasai 96 persen pangsa pasar otomotif di Indonesia. Pada tahun 2016, Toyota menguasai pasar penjualan mobil dengan penjualan sebanyak 238.795 unit, posisi kedua ditempati Honda dengan 136.058 unit. Posisi selanjutnya dipegang oleh Daihatsu sebanyak 116.999 unit (pemiliknya juga Toyota Motor Corporation), Mitsubishi 64.929 unit, Suzuki 61.176 unit, Datsun 23.028 unit, Hino 13.624 unit, Nissan 9.980 unit dan Isuzu 10.041 unit.
Toyota mengusai 80 persen ekspor kendaraan roda empat secara nasional. Dalam proses produksi, Toyota melibatkan sekitar 120 ribu buruh yang tersebar di 798 perusahaan pemasok tier 1, tier 2 dan tier 3. Pengusaan modal Jepang telah melakukan eksploitas terhadap buruh secara besar-besaran.
“Kasus kecelakaan kerja ini hanya gunung es saja dari berbagai ekses penjajahan modal Jepang di Indonesia. Buruh memang diberikan pekerjaan, tapi untuk membuat perusahaan semakin kaya. Toyota bisa sampai memiliki tiga pabrik di Indonesia, sedangkan buruh malah semakin banyak utang cicilan yang harus dibayar setiap bulan,” kata salah seorang orator.
Dalam kampanye di media sosial dengan tagar #JepangToyotaKembaliMenjajahIndonesia, KSPBN mengingatkan kembali kejadian Malari 1974. Malapetaka 15 Januari atau Malari adalah peristiwa kerusuhan dan pembakaran mobil-mobil Jepang akibat dari sentimen terhadap modal asing, khususnya modal Jepang. Peristiwa ini diawali dengan aksi penolakan mahasiswa terhadap kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei.
Berikut foto-foto aksi KSPBN menolak penjajahan modal Jepang dan Toyota:
1. Aksi di Jakarta:
2. Aksi KSPBN di Makassar:
3. Aksi KSPBN di Tobelo
4. Demo di Morotai
5. Aksi di Ternate
6. Aksi di Yogyakarta
7. Aksi di Bandung
8. Aksi di Manado
9. Aksi di Kupang