Langkah-langkah Mengajukan Gugatan di PHI

0

Mengajukan gugatan di PHI, adalah langkah terbaik yang dilakukan pekerja ketika mereka belum menerima haknya secara penuh sebagai pekerja. Tapi tidak semua pekerja mengetahui mekanisme itu. Pada artikel berikut ini, akan diuraikan tentang PHI, peran PHI dan bagaimana langkah-langkah pekerja untuk mengajukan gugatan di PHI.

PHI yang dimaksud dalam artikel ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial. Pengertian dan fungsinya dijelaskan sebagai berikut,

Pengertian PHI

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk dan berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memberi keputusan yang terkait dengan perselisihan hubungan industrial. Pengadilan ini berkedudukan di Ibu Kota Provinsi, tempat perkara yang diadukan. Sedangkan status PHI ini masih di bawah peradilan umum, artinya peradilan hubungan industrial ini sama dengan proses pada peradilan perdata.

Meskipun sama proses beracaranya namun ada satu yang membedakan, yaitu tentang biaya peradilannya. Sesuai UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pada pasal 58 disebutkan ; “Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”  Artinya, dalam proses beracara di PHI bila nilai gugatannya di bawah nominal tersebut maka biaya perkara akan ditanggung oleh negara. Sehingga secara otomatis akan berlaku sebaliknya bila nilai gugatannya lebih dari nominal yang ditentukan.

Perselisihan hubungan industrial yang dimaksudkan di sini merupakan perbedaan pendapat yang menimbulkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan beberapa pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja. Hal yang menjadi perselisihan diantaranya adalah ; perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau bisa juga perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.

Dalam beracara di PHI yang dimaksud dengan perselisihan sehingga dapat dipersidangkannya suatu gugatan oleh PHI adalah ;

  • Perselisihan Hak, yaitu munculnya perselisihan karena tidak terpenuhi hak sebagai akibat adanya perbedaan dalam mengartikan atau melaksanakan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau juga perjanjian kerjasama yang ada. Contoh perselisihan hak ini antara lain ; upah lembur tidak dibayar pengusaha, kekurangan upah yang diterima pekerja, kekurangan upah lembur, pekerja tidak disertakan dalam kepesertaan BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan) dan lain-lain.
  • Perselisihan Kepentingan, yaitu munculnya perselisihan dalam hubungan kerja karena ada ketidaksamaan atau tidak kesesuaian pendapat tentang pembuatan, penyusunan dan atau merubah syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjasama.
  • Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, yaitu munculnya perselisihan karena adanya ketidaksesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha.
  • Perselisihan Antar Serikat Pekerja / Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan, yaitu adanya perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan yang disebabkan karena adanya perbedaan pendapat atau tidak satu pemahaman tentang keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Pengajuan Gugatan

Ketika ada perselisihan yang dilatar belakangi salah satu atau beberapa hal yang dimaksud dari perselisihan di atas, penggugat dalam hal ini biasanya adalah pekerja, tidak bisa langsung mengajukan gugatannya di PHI. Ada beberapa tahap dan prosedur yang harus dijalani dan diselesaikan sebelumnya. Tahapannya harus sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2004 yang urutan dan penjelasannya adalah sebagai berikut ini :

Perundingan Bipartit

Tahap ini merupakan media perundingan antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha yang dilandasi dengan musyawarah untuk mufakat. Penekanannya adalah penyelesaian secara kekeluargaan dalam satu perusahaan. Perundingan ini dibatasi penyelesaiannya sampai dengan 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan. Setiap dilaksanakannya perundingan harus dibuat risalah atau notula yang ditanda tangani pekerja dan pengusaha. Dalam risalah tersebut dituliskan secara lengkap identitas peserta perundingan, pokok permasalahan, pendapat para pihak dan kesimpulan perundingan saat itu.

Dari perundingan bipartit ini ada dua kemungkinan yang akan timbul yang masing-masing mempunyai konsekuensi yang harus dijalani berikutnya, yaitu ;

  • Terjadi kesepakatan
    Apabila dalam masa 30 hari kerja tersebut perselisihan dapat diselesaikan dan ada solusi yang disepakati bersama maka hasil kesepakatan tersebut harus tertuang dalam suatu Perjanjian Bersama yang ditanda tangani pekerja dan pengusaha yang bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Agar Perjanjian Bersama itu dapat dipertanggung jawabkan dan dapat dilaksanakan, akan lebih baik bila Perjanjian Bersama itu didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat sehingga masing-masing pihak akan mendapatkan akta sebagai bukti pendaftaran.
  • Tidak terjadi kesepakatan

Tidak terjadi kesepakatan ini bisa dikarenakan tidak tercapainya mufakat atau bisa juga karena salah satu pihak tidak bersedia untuk diadakan perundingan. Sering terjadi bahwa pihak pengusaha yang tidak bersedia diadakan perundingan. Apabila hingga 30 hari kerja tidak terselesaikan perselisihan tersebut atau tidak ada perundingan maka tahap perundingan bipartit dianggap gagal. Dengan demikian maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI melalui Pengadilan Negeri setempat untuk didaftar dan agar mendapatkan penetapan eksekusi.

Hasil akhir pada tahap ini, baik itu ada kesepakatan atau tidak adanya kesepakatan, maka salah satu (biasanya pihak pekerja) mencatatkan perselisihannya ini kepada instansi yang membidangi ketenagakerjaan setempat dengan menyertakan bukti-bukti yang menguatkan bahwa upaya dalam tahap bipartit ini sudah dilakukan. Selanjutnya, apabila tidak terjadi kesepakatan maka para pihak harus melangkah ke tahap berikutnya, yaitu perundingan Tripartit.

Perundingan Tripartit

Sebagaimana tindak lanjut atas didaftarkannya  perselisihan tersebut, maka instansi yang membidangi ketenagakerjaan akan memberikan pilihan kepada pekerja atau penggugat, yaitu penyelesaian melalui konsiliasi ataukah melalui arbitrase. Penyelesaian perselisihan yang dapat dilakukan melalui konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja. Sedangkan penyelesaian perselisihan yang melalui arbitrase adalah penyelesaian perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja.

Dalam tahap ini instansi yang membidangi ketenagakerjaan berperan sebagai mediator atau konsiliator. Mediator atau konsiliator ini berstatus sebagai pegawai yang bertugas di instansi tersebut dan penunjukannya harus sesuai dengan kriteria yang telah diatur dalam perundang-undangan. Mediator dan konsiliator ini lah yang akan bekerja untuk mencari data, informasi, keterangan hingga mempertemukan pihak yang berselisih dalam suatu forum perundingan. Selama perundingan berlangsung, mediator atau konsiliator harus membuat risalah dalam bentuk notula pertemuan.

Masa kerja mediator atau konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan adalah 30 hari kerja sejak penetapannya. Dari perundingan tripartit ini ada dua kemungkinan yang akan timbul, dan masing-masing ada konsekuensi yang harus dijalani pada tahap berikutnya, yaitu :

  • Terjadi kesepakatan
    Maka dibuatlah Perjanjian Bersama yang ditanda tangani para pihak dan juga mediator atau konsiliator sebagai saksi. Selanjutnya Perjanjian Bersama ini didaftarkan ke PHI melalui Pengadilan Negeri setempat untuk kemudian mendapatkan akta sebagai bukti pendaftaran
  • Tidak terjadi kesepakatan

Apabila kondisi ini yang terjadi maka mediator atau konsiliator mengeluarkan anjuran secara tertulis yang ditujukan kepada pekerja dan pengusaha. Masing-masing pihak harus memberikan tanggapan atau jawaban atas anjuran tersebut secara tertulis. Bila sampai dengan batas waktu yang ditentukan ada pihak yang tidak memberikan tanggapan atas anjuran tersebut maka akan dianggap menolak anjuran dari mediator atau konsiliator. Dan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan Perjanjian Bersama, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI melalui Pengadilan Negeri setempat untuk didaftar agar mendapatkan penetapan eksekusi.

Sebagai langkah akhir pada tahapan ini, apabila salah satu atau kedua pihak menolak anjuran dari mediator atau konsiliator, maka salah satu atau masing-masing pihak dapat melanjutkan usaha penyelesaian perselisihan ini ke PHI di Pengadilan Negeri setempat, dengan mengajukan gugatan yang dilakukan oleh salah satu pihak, dalam hal ini biasanya adalah pihak pekerja.

Mengapa? Karena biasanya pengusaha berposisi sebagai pihak yang terduga melanggar hak pekerja. Sebagai pihak yang harus memenuhi kewajiban, banyak pengusaha memiliki bersikap pasif dengan tidak menjalankan kewajiban, meskipun Anjuran telah menyarankan agar pengusaha memenuhi kewajiabannya. Tetapi perlu juga dicatat, Anjuran tidak selalu berisikan ketentuan yang menguntungkan buruh saja, bisa jadi mediator Disnaker juga mengeluarkan Anjuran yang memenangkan pengusaha.

Selain itu, dibandingkan konsiliasi, mediasi lebih sering digunakan karena sebagai jalur perundingan tripartit. Hal ini karena konsiliasi hanya mencakup penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antara serikat pekerja. Sedangkan, pekerja yang biasanya bertindak sebagai pencari keadilan, lebih banyak memperselisihkan masalah hak, dibandingkan tiga jenis perselisihan lainnya.

Gugatan di PHI

Sebagai pekerja yang akan memberikan surat permohonan gugatannya di PHI sebaiknya tahu bagaimana teknis penyusunan gugatannya. Hal-hal penting yang harus diperhatikan sebelum menyusun surat permohonan gugatan adalah ;

  • Penggugat harus tahu, memahami dan mengerti inti atau substansi permasalahan, agar dapat mengetahui dengan pasti perkaranya dan yang akan dituntutnya.
  • Penggugat harus memahami apakah perkara yang akan diajukan gugutannya itu berada pada kewenangan Pengadilan Perdata, PTUN ataukah PHI.
  • Memahami wilayah pengadilan yang berwenang sesuai lokasi perkaranya.
  • Mengetahui harta kekayaan tergugat, baik kekayaan tetap maupun tidak tetap milik tergugat.

Sedangkan untuk pola penulisan gugatan sebaiknya adalah sebagaimana berikut ;

  • Ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar
  • Mencantumkan tempat dan tanggal dibuatnya surat permohonan gugatan
  • Judul gugatan harus benar sesuai substansinya. Apakah perselisihan hak, perselisihan PHK, peselisihan kepentingan, ataukah perselisihan antar serikat pekerja.
  • Mencantumkan identitas pihak penggugat dan pihak tergugat dengan benar
  • Mencantumkan identitas dan kedudukan perwakilan penggugat apabila memakai kuasa hukum atau menggunakan serikat pekerja
  • Mencantumkan positum, yakni memuat tentang tentang hubungan hukum antara pihak yang berperkara. Juga memuat uraian tentang kejadian atau persitiwa mengenai duduk perkara serta adanya hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak yang menjadi dasar suatu gugatan. Misalnya ; sebab dan peristiwa hukum yang terjadi, mencantumkan dengan jelas perbuatan Tergugat yang melanggar peraturan atau perundang-undangan yang berlaku, dan memohon sita jaminan.
  • Mencantumkan petitum, yakni hal-hal yang dimohonkan untuk dituntut agar dapat diputuskan oleh Pengadilan. Hal ini harus dirumuskan dengan jelas dan tegas sesuai dengan positum. Misalnya ; mengabulkan gugatan Penggugat …., menghukum Tergugat untuk ….., menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ….., dan sebagainya.
  • Tanda tangan Penggugat atau Kuasa Hukumnya di atas meterai.

Contoh Surat Permohonan Gugatan

Di bawah ini adalah contoh surat permohonan gugatan yang dibuat sederhana. Dari contoh berikut, rincian substansi bisa lebih diperinci dan diperjelas lagi.

Kepada Yth                                                                                                                                              Surabaya, 20 September 2020

Ketua Pengadilan Hubungan Industrial

Pada Pengadilan Negeri Surabaya

Jl. Arjuno No.16-18, Sawahan, Kec. Sawahan,

SURABAYA

Hal  :  Gugatan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini,

(tulis – Nama dan alamat Kuasa Hukum) berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 18 September 2020 (terlampir), bertindak untuk dan atas nama (tulis – Nama dan alamat Penggugat) yang bekerja di (tulis – Nama dan alamat Perusahaan tempat bekerja) dengan jabatan dan posisi sebagai (tulis – posisi atau jabatan), yang selanjutnya disebut “Penggugat”;

dengan ini mengajukan gugatan perselisihan pemutusan hubungan kerja terhadap (tulis – Nama dan alamat Penggugat), yang selanjutnya disebut “Tergugat”.

Dasar dan alasan Penggugat dalam gugatan ini adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 1 Pebruari 2005
  2. Bahwa Penggugat telah diberhentikan dari pekerjaannya di Tergugat sejak 30 April 2020 dengan jabatan dan posisi terakhir sebagai (tulis – posisi atau jabatan) dan dengan upah yang diterima terakhir sebesar Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
  3. Bahwa pemberhentian oleh Tergugat tersebut tertuang dalam SK No. 451/SK-V/IV/2020 tertanggal 20 April 2020 (terlampir) dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh Penggugat.
  4. Bahwa Penggugat selama bekerja pada Tergugat telah menunjukkan loyalitas yang tinggi dan merupakan salah satu karyawan terbaik, yang ditunjukkan dengan penghargaan yang beberapa kali diterima Penggugat dari Tergugat.
  5. Bahwa saat Tergugat memberikan surat pemberhentian kepada Penggugat, juga disertai dengan pemberian cek senilai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) kepada Penggugat sebagai tanda terima kasih, namun saat itu juga Penggugat tidak mau menerima cek tersebut.
  6. Bahwa Penggugat tidak bisa menerima tanda terima kasih tersebut karena menurut Penggugat nilai tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, khususnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  7. Bahwa tidak adanya kesepakatan dalam perundingan antara Penggugat dengan Tergugat yang difasilitasi oleh Serikat Pekerja yang ada di (tulis – Nama dan alamat Perusahaan tempat bekerja) maka pada tanggal 5 Juli 2020 Penggugat telah mencatatkan perselisihan pemutusan hubungan kerja tersebut di Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya.
  8. Bahwa atas pencatatan tersebut Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya telah melakukan langkah klarifikasi kepada Penggugat dan Tergugat, dan juga dilakukan mediasi antara Penggugat dengan Tergugat.
  9. Bahwa atas langkah mediasi tersebut, Dinas Tenaga Kerja sebagai mediator memberikan anjuran agar Penggugat diterima kembali dengan jabatan dan posisi yang sama saat terakhir bekerja di tempat Tergugat, dan juga menganjurkan untuk membatalkan pemberian cek oleh Tergugat.
  10. Bahwa atas dasar anjuran tersebut Penggugat secara tegas menolak dengan pertimbangan psikis bila kembali bekerja di tempat Tergugat.
  11. Bahwa setelah dilakukan upaya perundingan bipartit dan tripartit namun tidak adanya kesepakatan maka Penggugat berupaya mencari keadilan melalui pengadilan.
  12. Bahwa yang menjadi hak Penggugat dan yang diajukan oleh Penggugat sesuai perundang-undangan adalah sebesar Rp 303.600.000,- (tiga ratus tiga juta enam ratus ribu rupiah).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara untuk memberikan putusan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
  2. Menyatakan bahwa Penggugat diberhentikan dan berhak untuk menerima haknya sesuai perundang-undangan, yakni sebesar Rp 303.600.000,- (tiga ratus tiga juta enam ratus ribu rupiah)
  3. Untuk menjamin dilaksanakannya putusan ini nantinya oleh Tergugat, maka Penggugat mohon agar menghukum Tergugat dengan membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan ini sejak diucapkan.
  4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara
  5. Memerintahkan tergugat untuk patuh terhadap isi putusan ini

 

atau,

Apabila Yang Mulia Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat kami,

Kuasa Penggugat,

 

Materai

 

(Nama Kuasa Hukum)

***

Sumber :

  • UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  • UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *