Solidaritas.net, Jakarta – Pihak kepolisian memperketat pengamanan selama pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika ke-60 yang dihelat tanggal 19-24 April 2015 ini di Jakarta dan Bandung. Bahkan, Polri telah membuktikan ketatnya pengamanan tersebut dengan membersihkan kegiatan internasional tersebut dari semua bentuk aksi demonstrasi. Sebagai bukti, petugas polisi pun menangkap sebanyak 18 orang aktivis untuk membubarkan aksi demo yang mereka gelar.

Para aktivis dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) itu ditangkap oleh petugas Polda Metro Jaya saat melakukan demo menentang pelaksanaan KAA 2015 di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Dalam aksi yang diikuti oleh puluhan aktivis FPR itu, mereka menyebut bahwa pelaksanaan peringatan KAA 2015 dianggap sudah melenceng dari cita-cita utama KAA yang sangat menentang segala bentuk dominasi dan penjajahan.
Terkait penangkapan 18 aktivis FPR tersebut, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Rahmat Ajiguna pun ikut memberikan komentar. Menurutnya, penangkapan para aktivis yang juga bernaung dalam organisasi massa petani tersebut malah merupakan salah satu bentuk tindakan yang anti demokrasi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Jokowi telah menghalang-halangi gerakan demokrasi oleh rakyat Indonesia. Menyatakan pendapat adalah hak rakyat dan negara wajib untuk melindungi. Tapi ini justru melakukan pemberangusan, hanya karena kita menentang dominasi asing terhadap Indonesia,” ungkap Rahmat saat dihubungi wartawan, seperti dilansir oleh MRB-Media.com, Senin (20/4/2015).
Hal senada dikatakan pula oleh salah seorang aktivis yang ditangkap, Ali Paganum. Dia menyebut tindakan pihak kepolisian itu termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Tindakan kepolisian itu termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Sebab undang undang menjamin setiap warga negara memiliki kemerdekaan untuk berpendapat. Karena itu 18 aktivis AGRA tersebut harus dibebaskan,” ungkap Ali dikutip dari portal GeoTimes.co.id.
Sedangkan Koordinator FPR, Rudi HB Daman menyebut akan membela dan mengadvokasi seluruh aktivis yang ditangkap. Selain Ali, para aktivis tersebut adalah Marjenab, Wahyu, Rendy, Harto, La Ode Nuralim, Yopihari, Aswin, dan Juned. Lalu, M Saiful, Juyun, Ujang Abdul Gafur, Arif Triyamayadi, Siti Habibah, Azwin, Unai Sugiarto, dan Helda Prasetya. Saat ditangkap, mereka dipaksa masuk ke truk polisi dan digelandang ke Polda Metro Jaya.
Sementara itu, Kepala Polri Badrodin Haiti menyatakan bahwa penangkapan para aktivis tersebut merupakan bagian dari tindakan pengamanan selama KAA 2015 berlangsung. Menurutnya, tugas kepolisian adalah mengamankan situasi. Sehingga segala tindakan yang berindikasi mengancam keamanan akan segera ditindaklanjuti, termasuk unjuk rasa. Namun, pihaknya tidak akan melarang warga berunjuk rasa selama sudah mendapat izin.
“Polisi melakukan penangkapan pasti ada alasannya. Apakah ada indikasi melakukan pelanggaran hukum apa tidak, harus melalui pemeriksaan paling tidak dalam 1 x 24 jam kita hingga tahu motif mereka. Kita ingin menciptakan suasana kondusif selama konferensi berlangsung,” jelas Badrodin pula di sela-sela pemeriksaan pasukan keamanan di Jakarta.
Sementara, menurut pasal 10 dan 13 UU No 9 tahun 1998 mengenai Unjuk Rasa, unjuk rasa dilakukan dengan memberikan surat pemberitahun kepada Polri dan Polri wajib segera memberikan tanda terimanya. Jadi, untuk melakukan suatu unjuk rasa, bukan dengan memohon surat izin kepada Polri.