LBH Jakarta: Pencari Keadilan Terbanyak 2014 Adalah Buruh

Solidaritas.net | Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta merilis Catatan Akhir Tahun (Catahu) yang menempatkan kasus perburuhan sebagai kasus yang paling banyak diadukan sepanjang tahun 2014, Selasa (23/12/2014).

catahu lbh jakarta perburuhan
Grafik pengaduan kasus perburuhan LBH Jakarta 2014.

“Kasus buruh yang paling banyak, yakni sebanyak 26 ribu kasus pelanggaran UU Ketenagakerjaan, sementara kasus pemukiman dan masyarakat urban 6000-an kasus,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Alghiffari Aqsha.

Data yang dimiliki LBH Jakarta dalam menangani kasus perburuhan menunjukkan angka sebanyak 228 pengaduan dengan 54.883 pencari keadilan. Jenis pengaduan terbanyak adalah kasus perburuhan dalam hal persoalan hubungan kerja, yakni sebanyak 24.253 pengaduan, sementara pelanggaran normatif sebesar 2.472 kasus. (Baca lainnya: Langgar UU: Mall di Aceh Pekerjakan Anak di Bawah Umur)

Hak-hak buruh yang padahal sudah dimuat di dalam UU No. 13 Tahun 2003 sekalipun, masih banyak dilanggar. Salah satu penyebab utamanya adalah lemahnya pengawasan dalam bidang ketenagakerjaan. Menurut Catahu LBH Jakarta, dalam konsep UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan mengatur pengawas dapat memaksa masuk ke pabrik-pabrik untuk memastikan buruh bekerja sesuai dengan prosedur dan tidak terjadi pelanggaran atas hak-hak buruh. Jika pengusaha menolak, Pengawas dapat melibatkan aparat kepolisian untuk memaksa pengusaha. Namun, dengan diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2003, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan Perpres Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, maka peran pengawas ketenagakerjaan terhambat oleh otonomi daerah. Dalam beberapa kasus juga ditemukan Pengawas Ketenagakerjaan tidak memenuhi kompetensi bahkan tidak memahami permasalahan hubungan industrial. (Baca lainnya: Gara-Gara PHK Buruh Usia 25 Tahun ke Atas, Produksi Mati 2 Hari)

(Baca selanjutnya di halaman 2)

Itulah sebabnya, pengusaha semakin leluasa melakukan pelanggaran, khususnya dalam praktek pekerja kontrak dengan menyalahi pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan outsourcing dengan menyalahi pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Tidak mengherankan jika UU No. 13 Tahun 2003 yang satu paket dengan UU No. 2 Tahun 2004 banyak merugikan buruh, karena disahkannya UU ini merupakan syarat pinjaman utang luar negeri yang didesakkan oleh lembaga donor internasional, IMF (International Monetary Fund) saat krisis 1998.

Data LBH ini mengonfirmasi fakta bahwa gerakan buruh yang membesar pada tahun 2012 dengan tuntutan utamanya hapuskan outsourcing. Hal ini karena buruh menyadari bahwa kepastian kerja adalah kebutuhan primer untuk mempertahankan kelangsungan kerja dan hidupnya. Dengan dilancarkannya tuntutan hapuskan outsourcing secara nasional, maka menjadi pendorong buruh bergerak.

Tinggalkan Balasan