Solidaritas.net – Belakangan ini aksi-aksi buruh menuntut kenaikan upah kembali marak, bahkan telah disepakati untuk menggelar aksi buruh dengan skala nasional yang disebut Mogok Nasional III oleh prakarsa tiga Konfederasi besar di Indonesia pada 10-11 Desember nanti [1]. Tuntutan utamanya tentu saja adalah kenaikan upah dalam artian merubah keputusan pemerintah untuk menaikkan besaran upah minimum. Aksi-aksi kaum buruh ini akan terus berlanjut hingga bulan Januari, sehingga telah menjadi “ritual” tahunan kaum buruh. Namun sesungguhnya upah murah tidak hanya disebabkan akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro-buruh melainkan sebagai akibat dari regulasi pengupahan itu sendiri.
Bagaimana definisi upah minimum berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia? Menurut UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Dari penjelasan menurut UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini, besarnya pembayaran upah bagi pekerja/buruh ditentukan melalui mekanisme perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk perlindungan sosial bagi pekerja/buruh, maka ditentukan batasan minimum nilai upah pekerja/buruh oleh pemerintah melalui mekanisme upah minimum kabupaten/kota (UMK), seperti diterangkan dalam UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88. Sehingga besarnya penetapan upah pekerja/buruh melalui mekanisme perjanjian kerja maupun kesepakatan tidak dapat bernilai lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah, seperti ditentukan dalam UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 90.
Kemudian apa parameter (ukuran) yang digunakan dalam menentukan upah minimum? Berdasarkan UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan komponen dari kebutuhan hidup layak sendiri telah ditentukan oleh pemerintah melalui Kepmenakertrans no.13 tahun 2012 berjumlah 60 komponen sebagai dasar pelaksanaan survey untuk mendapatkan nilai kebutuhan hidup layak.
Persoalan yang muncul adalah apakah dengan 60 komponen yang ditentukan menjadi standar kebutuhan hidup minimum tersebut dapat dikatakan layak? Seperti diatur untuk kebutuhan papan atau tempat tinggal sebagai kebutuhan hidup mendasar, hanya diatur sebesar biaya sewa kamar. Bukankah ini berarti bahwa standar kebutuhan tempat tinggal bagi buruh hanyalah sekedar sewa kamar? Atau dalam komponen lain biaya pendidikan bagi buruh, hanya ditetapkan untuk buku bacaan atau radio saja, apakah dengan demikian buruh tidak layak untuk meningkatkan pendidikannya lebih tinggi, seperti kuliah misalnya? Apakah dengan standar hidup yang demikian rakyat Indonesia telah dapat dikatakan hidup layak?
Dengan parameter kebutuhan minimum yang masih jauh dari kata layak sehingga terus-menerus menimbulkan konflik tersebut, permasalahan upah juga muncul akibat ketentuan dalam UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 89 ayat (2) yang menyebutkan bahwa upah minimum yang ditetapkan pemerintah kabupaten/kota maupun propinsi diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Sehingga akibat ketentuan ini maka pemerintah kabupaten/kota maupun di tingkat propinsi tidak diwajibkan menetapkan upah sesuai hasil survey kebutuhan hidup layak.
Bahkan melalui UU ini pada pasal 90 diberikan ruang bagi pengusaha yang tidak mampu membayarkan upah sesuai upah minimum yang telah ditetapkan dengan mengajukan penangguhan kepada Gubernur, yang diatur mekanismenya dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi no.KEP-231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Sehingga dalam kenyataannya banyak pengusaha yang membayarkan upah dibawah ketentuan upah minimum setelah mengajukan penangguhan kepada Gubernur.
Dengan regulasi (aturan) yang demikian maka akan mustahil untuk mengatasi upah murah yang berujung konflik antara kaum buruh, pengusaha dan pemerintah setiap tahunnya. Negara lah yang justru melegalkan upah murah itu sendiri. Diperlukan lebih dari sekedar aksi untuk menuntut kenaikan upah untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh di negeri ini, yakni kepastian akan upah layak. Bahkan lebih jauh, konsep pengupahan yang digunakan hingga hari ini belum beranjak jauh dari konsep pengupahan jaman kolonial yang pada prinsipnya adalah memberikan upah sebesar kebutuhan hidup agar buruh tetap dapat hidup dan berkembang biak untuk melanjutkan pekerjaannya esok hari. (Baca: Upah Buruh: Nilai Kerja atau Komoditas?).
Dibutuhkan lebih dari sekedar Mogok Nasional yang direncanakan kaum buruh di bulan Desember nanti untuk mengatasi upah murah di negeri ini, yakni perjuangan buruh yang berkesinambungan hingga berkuasa secara politik, untuk mengubah konsep pengupahan yang akan menjadi solusi memperbaiki kesejahteraan buruh dan rakyat negeri ini. Masalahnya, elite-elite serikat buruh itu sendiri lah yang kerap melemahkan perjuangan massa buruh untuk menuju ke arah politik yang sejati.
Referensi:
- http://www.pasberita.com/2014/11/tuntut-kesejahteraan-buruh-akan-mogok.html