Lembur Hambat Buruh Perempuan Aktif Berserikat

0

Solidaritas.net, Subang – Pemberlakuan sistem wajib lembur di pabrik-pabrik di Serang, Banten, yang didominasi pabrik garmen menjadi kendala bagi buruh perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan serikat pekerja.

buruh perempuan pt handsome
Buruh perempuan PT Handsome. Sumber: facebook.com/pt.handsome.

Buruh-buruh perempuan ini harus berangkat ke pabrik sebelum pukul 06.00 WIB dan belum bisa pulang sebelum pukul 18.00 WIB, karena diharuskan lembur. Pekerjaan semakin bertambah bagi perempuan yang sudah berumahtangga karena tanggung jawab mengurus rumah dan anak dibebankan kepada mereka.

Sebut saja pemberlakuan sistem lembur di PT Handsome, sebuah pabrik garmen yang berlamat di Jl Raya Kalijati, RT. 13 RT. 07, Purwadadi, Subang. Pada tahun 2012, perusahaan asal Korea ini memberlakukan lembur 4 jam per hari atau sekitar 24 jam per minggu dengan upah hanya sekitar Rp. 2 jutaan, terutama untuk buruh cuting (pemotong kain). Waktu lembur bisa menjadi lebih lama jika kain bahan adalah jenis yang sulit dipotong.

Padahal, menurut ketentuan pasal 78 UU no. 13 tahun 2003, lembur harus berdasarkan persetujuan buruh yang bersangkutan dan maksimal  3 jam per hari atau14 jam per minggu tidak termasuk lembur di hari libur. Namun, karena posisi tawar buruh perempuan sangat lemah, faktanya mereka sulit menolak.

90 persen buruh di pabrik ini adalah perempuan yang membuat mereka sulit membagi waktu untuk keluarga, apalagi berorganisasi. Meskipun di tahun 2015 ini, waktu untuk lembur bisa dikatakan lebih baik yaitu 2 jam dalam sehari, namun untuk posisi ‘cuting’ atau pemotongan masih berlaku lembur 4 jam per hari.

Menurut Esti Setyorini, buruh perempuan yang aktif di Aliansi Buruh Subang (ABS) sekaligus menjabat sebagai wakil ketua I di DPC FSP LEM ini, masih begitu sulit untuk mengorganisir buruh-buruh perempuan untuk bersama-sama menolak jam lembur dan berbagai macam tekanan yang dilakukan oleh pihak pengusaha.

“Padahal buruh perempuan di sana itu rasanya seperti mau mati (karena lembur),” ucapnya.

Menurutnya, salah satu faktor karena latar belakang pendidikan buruh perempuan yang sebagian besar hanya sampai SMP. Meskipun adapula yang tamatan SMA, namun jumlahnya tak banyak. Persaingan kerja membuat buruh perempuan menerima begitu saja ketentuan pengusaha meskipun kerap bertentangan dengan Undang-Undang.

Esti juga sering merasa geram apabila para buruh yang menjadi rekannya menerima penangguhan upah tanpa berjuang terlebih dahulu untuk menuntut kenaikan upah sesuai dengan UU.

“Tidak kerja, tidak memiliki penghasilan. Kerja justru tidak dapat menentukan pilihan karena tekanan,” katanya, menggambarkan dilema menghadapi masalah kecilnya upah tersebut.

Di pabrik-pabrik garmen, tubuh buruh kerap diperlakukan seperti mesin. Diharuskan kerja, kerja dan kerja untuk memenuhi target. Esti menyayangkan kondisi ini karena menurutnya semakin tinggi upah buruh, maka seharusnya semakin berkurang jam kerja untuk para buruh. Namun hal itu tidak dapat terwujud karena orientasi pengusaha terfokus pada keuntungan sehingga mendorong lembur diperbanyak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *