Solidaritas.net – Pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020. Alasannya untuk menjaga keuangan BPJS Kesehatan, kekosongan hukum dan berkaitan dengan keuangan negara akibat pandemic COVID-19.
Menanggapi itu, Lokataru Foundation dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengecam langkah pemerintah tersebut. Mereka menilai, langkah pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan mengabaikan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No 82 tahun Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada 6 Mei 2020 lalu.
Dalam Perpres terbaru itu, iuran BPJS Kesehatan dikatakan lebih rendah dari Perpres yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung. Besaran iuran bagi kelas III untuk kelas PBPU dan BP/kelas mandiri jumlahnya sebesar Rp. 25.500 yang Rp. 16.500 dibayarkan pemerintah. Namun kebijakan tersebut hanya bakal berlaku pada tahun 2020, selanjutnya di tahun 2021, besarannya akan naik kembali menjadi Rp.35.000 dengan Rp. 7000 dibayarkan pemerintah.
Baca: Lokataru Minta Bebaskan Ucen, Buruh PT. IWIP yang Ditangkap Polisi
Bagi kelas II PBPU dan BP/kelas mandiri besaran iurannya menjadi Rp 100.000, lebih rendah Rp 10.000 dari Perpres yang telah dibatalkan oleh MA sebelumnya. Sedangkan untuk kelas I jumlah besaran iuran menjadi Rp 150.000, lagi-lagi selisih Rp 10.000 dari Perpres sebelumnya.
“Kami menilai Pemerintah seolah hendak mempermainkan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal. Sejak wacana kenaikan iuran digulirkan hingga diberlakukannya Perpres 75 Tahun 2019 pada Januari silam, gelombang ketidaksetujuan warga telah diungkapkan melalui aksi 792.854 orang yang memilih turun kelas,” tulis pernyataan sikap Lokataru dan KPCDI mengutip lokataru.id.
Baca: Buruh Aice yang Kena Sanksi Karena Mogok Kerja Bertahan Hidup Dengan Jualan
Sudah berkali-kali katanya diingatkan, mulai dari aksi protes hingga gugat ke MA dan pemerintah harusnya teguh berpegang pada prinsip pedoman ha katas kesehatan. “Sayangnya, Pemerintah tidak memiliki sensitivitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut dan tetap memilih menaikkan iuran.”
KPCDI yang sebelumnya berjuangan menggugat Perpres 75 Tahun 2019 itu ke MA merasa kecewa atas kebijakan pemerintah menaikan besaran iuran itu, terutama kelas III PBPU/BP. Apalagi ditengah pandemi COVID-19, ditambah gelombang PHK pun marak terjadi, yang justru mengacam keselamatan pasien penyakit kronis.
”Seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisa/cuci darah) demi kelanjutan hidup. Dengan kembali dinaikkan, artinya pembatalan kenaikan iuran hanya bertahan selama tiga bulan; April, Mei, Juni.,” kata Tony Samosir, ketua KPCDI
Bagi mereka, kebijakan Presiden yang ngotot menaikan iuran BPJS Kesehatan meski sebelumnya telah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung adalah sebuah tabiat yang tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara. Keputusan Mahkamah Agung seharusnya mengikat secara hukum bagi semua pihak, tak terkecuali Presiden. Oleh karena itu, Perpres No. 64/2020 tak lain adalah sebuah upaya melawan hukum.
“Lagi-lagi, kami menilai Pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga.”
Sementara, Lokataru Foundation juga menyebut sejak awal kebijakan menaikan iruan untuk menutup lobang defisit BPJS Kesehatan tidak dapat memastikan bila di kemudian hari BPJS Kesehatan tidak akam mengalami defisit.
“Kita tidak bisa menutup mata atas carut-marut tata kelola BPJS Kesehatan; semrawutnya data kepesertaan, absennya tindakan tegas terhadap ribuan badan usaha yang tidak membayar dan menjamin tenaga kerjanya hingga minimnya pengawasan dan pemberian sanksi bagi tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum pasien, penyedia pelayanan kesehatan dan juga BPJS Kesehatan sendiri,” katanya.
Disisi lain, kedua organisasi kemasyarakatan itu juga mengatakan, bahwa hingga hari ini BPJS Kesehatan masih belum membuka hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehtan secara publik. Padahal, bulan Maret lalu, Komisi Informasi Pusat (KIP) sudah memutuskan bahwa dokumen audit tersebut adalah dokumen publik.
“Selama dokumen tersebut masih ditutup-tutupi, kami tidak bisa menerima penjelasan resmi pemerintah yang menyalahkan defisit kepada para peserta BPJS. Demikian pula, sampai penyebab defisit belum bisa dijelaskan secara memuaskan oleh pemerintah maka kami akan terus menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.”
Sebab itu, Lokataru Foundation dan KPCDI menuntut Presiden Jokowi agar teguh pada komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan ha katas jaminan kesehatan warga, terutama ditengah pandemi. Juga pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk memperbaiki tata kelola lembaga serta evaluasi permasalahan-permasalahan yang selama ini masih terjadi pada penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional (JKN) sebelum menaikan besaran BPJS Kesehatan.
Serta, meminta kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk membuka dokumen hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan kepada publik.
“Sementara, terkait dengan aturan baru yang diterbitkan Presiden, tidak ada jalan lain, kami akan lakukan upaya hokum.”