Solidaritas.net – Dalam kehidupan sebagai buruh atau dalam kegiatan organisasi serikat buruh, sering kali kita mendengar ungkapan “kelas buruh”. Bagaimana pengertian dari “kelas buruh” itu sendiri ? Menurut Wikipedia.org, kelas buruh atau disebut juga proletariat adalah orang-orang yang menjual tenaga kerjanya untuk sejumlah upah, baik itu industri formal maupun informal.
Menurut teori Marxis dan beberapa literatur sosialis lainnya, kelas buruh yang sering disebut dengan kaum proletar mencakup semua orang yang mengeluarkan tenaga, baik pikiran maupun fisik, untuk menghasilkan nilai ekonomi bagi mereka yang memiliki alat-alat produksi.
Karl Marx dan Friedrich Engels mendefinisikan bahwa kelas proletariat adalah kelas dalam masyarakat yang sepenuhnya hidup dengan menjual kerjanya dan tidak mengambil profit dari kapital apapun, yang nasib baik dan buruknya, yang hidup dan matinya, yang eksistensinya bergantung pada permintaan atas kerja. Seorang buruh belum tentu tergolong ke dalam kelas proletariat, jika buruh tersebut memiliki sumber penghasilan lain dari kepemilikan pribadinya selain upah, misalnya uang sewa tanah warisan, warung, dan lain sebagainya.
Marx dan Engels juga menyatakan bahwa kelas proletariat inilah yang sesungguhnya menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Sebab kelas buruh-lah yang secara fisik membuat jembatan, barang-barang kerajinan, mengelola pertanian dan merawat anak-anak, tetapi mereka tidak memiliki lahan maupun pabrik tersebut.
Di negara yang menganut sistem kapitalisme seperti Amerika Serikat, kelas buruh sering dimaknai oleh masyarakat umum hanya sebatas mereka yang menggunakan tenaga fisik untuk memperoleh pendapatan melalui upah, terutama yang dibayarkan upahnya per jam. Bahkan kemudian kelas buruh dikelompokkan menjadi empat bagian besar, yaitu buruh tidak terampil, pengrajin, pekerja rumah tangga dan buruh pabrik.
Di Indonesia sendiri, kita dapat merujuk pada penjabaran dalam Undang Undang no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk yang lain. Hal ini berarti pemahaman kelas buruh adalah mereka yang menjual tenaga kerjanya, baik fisik maupun pikiran, untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk upah.
Sehingga berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan definisi kaum buruh meliputi seluruh profesi baik formal maupun informal, misalnya buruh pabrik, pekerja kantoran, manajer pabrik, dokter rumah sakit swasta, jurnalis/wartawan, pilot maskapai penerbangan swasta/BUMN, dan lain sebagainya tanpa membedakan keahlian maupun tingkat pendidikan.
Dalam Undang Undang no. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh memberikan definisi yang sama, hanya untuk kategori jabatan tertentu, yaitu manajer HRD, manajer keuangan dan manajer personalia tidak dapat menjadi pengurus serikat pekerja/buruh untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan. Namun demikian orang dengan jabatan tersebut dapat menjadi anggota serikat buruh, dikarenakan mereka juga termasuk dalam kategori buruh yang memperoleh imbalan atas kerjanya.
Sangat disayangkan meski pemahaman kelas buruh sendiri mencakup buruh di sektor formal maupun informal, dalam hal pembayaran upah, hanya mayoritas buruh di sektor formal yang menerima pembayaran upah sesuai standar minimum yang ditetapkan pemerintah (UMK/UMP). Sedangkan buruh di sektor informal, seperti misalnya buruh mini market, buruh angkut di pasar, buruh rumah tangga, dan lain sebagainya tidak menerima pembayaran upah sesuai ketentuan standar upah minimum.
Foto ilustrasi: Buruh © Pixabay.com / geralt-9301
memahami persoalan ini jadi pengen ambil kuliah hukum