
Namanya Marsinah. Mengenalnya, mengingatkan kita dengan kekejaman pemerintahan Orde Baru. Rezim militer yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Dipimpin oleh Soeharto. Paling lama dari pemerintahan Soekarno. Tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Marsinah. Sebatas pejuang buruh. Martir bagi perjuangan pemenuhan hak-hak di tempat kerja.
Reformasi memang tak banyak memberi kontribusi. Hanya ceceran demokrasi semu. Kematiannya hingga kini masih menjadi misteri. Tak pernah terungkap siapa pelakukanya. Siapa dalang dari kematiannya. Namun, satu-satunya yang patut dicurigai adalah negara. Karena cuman negara yang memiliki legitimasi, aparatus kekerasan, infrastruktur dan bisa berbuat segalanya. Sekehendak melakukan apapun. Termasuk mencabut nyawa manusia.
Kita juga tentu mengenal Wiji Tukul, aktivis 1998 yang hilang entah dimana rimbanya. Juga Munir, pejuang HAM yang mati di tangan reformasi yang turut ia perjuangkan. Dan masih banyak lagi. Apalagi kasus pembataian massal 1965. Cukup miris.
Marsinah bukanlah satu-satunya aktivis buruh yang merasakan kekejaman Orba, namun bisa jadi salah satu perempuan yang ditakuti rezim militeristik karena kepiawaiannya dalam mengorganisir perlawanan buruh menuntut hak dan kelayakan hidup. Sehingga bagi rezim, ia harus mati.
Marsinah dibunuh di usia yang masih cukup muda, 24 tahun. 8 Mei 1993, tepat 27 tahun lalu, jasad Marsinah ditemukan tergeletak begitu saja di sebuah gubuk pinggir sawah, Dusun Jegong, Desa Wilangan, Kabupaten Ngajuk. Tubuhnya dipenuhi bekas memar. Dia dianiaya.
Lima hari sebelumnya, tepat 3 Mei sebelum tewas, dia bersama kawan-kawannya melakukan mogok kerja di PT. Catur Putera Surya (PT. CPS). Pabrik yang memproduksi arloji, tempat dimana dia bekerja. Mogok kerja itu untuk menuntut kenaikan upah, tunjangan citu haid dan hamil bagi perempuan, biaya transportasi, THR satu bulan gaji, hingga menuntut bubarkan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Salah satu serikat pekerja yang diakui negara, dan tentu tidak membela kaum buruh.
Tuntutan tersebut sudah diatur dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992 terkait kenaikan upah. Namun, perusahaan PT. CPS mengabaikan itu. Yang terjadi malah buruh yang ikut mogok diintimidasi dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dari perusahaan di Markas Kodim Sidoarjo. Ingat, di Markas Kodim. 13 Orang buruh itu dianggap dalang pemogokan. Sehingga menjadi wajar menurut logika tentara untuk dipecat.
Marsinah lantas pergi ke Kodim bersama sejumlah kawan-kawannya. Namun, 13 orang kawan-kawannya yang dipecat sudah pulang. Mendengar kawan-kawannya dikenai PHK karena dianggap dalang pemogokan, ia tidak terima. Marsinah lantas mengambil jalan dengan gigih dan bersemangat kembali membela hak 13 kawannya. Niat baik Marsinah ini justru harus dibayar dengan nyawa. Pada 5 Mei dia sudah tidak kembali. Hingga jasadnya ditemukan tiga hari kemudian, tepat 8 Mei 1993 silam.
Berdasarkan beberapa sumber, hasil visum menunjukan, banyak sekali memar dan luka-luka sobek tak teratur di dalam tubuhnya. Bahkan di bagian kemaluannya sampai dalam rongga perut terdapat luka-luka. Artinya Marsinah mati dengan tidak wajar, dia disiksa dan diperkosa.
Apa yang terjadi pada Marsinah mensyaratkan dua hal, pertama, dia harus menghadapi mesin represif Orde Baru yang militeristik, dan kedua, menegaskan pola bagaimana negara menindas perempuan dengan menggunakan kekerasan seksual. Rezim punya otoritas itu. Melanggengkan penindasan berlapis pada perempuan.
Masa Orba, militer memang punya kendali terhadap seluruh struktur sistem ekonomi dan politik. Mengendalikan kekuasaan secara sentralistik. Kekayaan mengalir diseluruh kantong birokrasi komando militer. Dibunuhnya Marsinah dan dipecat 13 orang buruh merupakan kontrol di bawah kendali rezim ini. Tidak ada pengecualian.
Pelaku kematian Marsinah pun semacam direkayasa. Menjadikan satpan dan sejumlah manajer perusahaan sebagai tersangka. Namun, akhirnya bebas. Hingga 27 tahun kasusnya, tidak ada hasil apa-apa. Masa depan penyelesaian Marsinah masih saja suram.
Perempuan yang hidup di zaman Orba, sangat rentan mengalami penindasan ganda karena pendekatan militeristik. Bukan berarti reformasi sudah menyelesaikannya. Justru melanggengkannya. Tidak sekadar penindasan terhadap otoritas tubuh, namun juga marginalisasi dan pemiskinan berlangsung hingga kini mengikuti kebutuhan kapitalisme. Marsinah merasakan itu. Dia punya cita-cita yang tak kesampaian: kuliah di fakultas hukum. Sehingga, apa yang diperjuangkan Marsinah saat itu adalah bagian agar perempuan tidak ditindas dan bisa hidup dengan layak.
Marsinah adalah aktivis buruh yang paham bagaimana kondisi perempuan di dalam sebuah sistem ekonomi politik yang menindas. Di tempat kerja, perempuan di upah murah, kerap mendapat pelecehan dari majikan dan teman kerja, bahkan dalam serikat, cuti haid dan hamil kerap tak diberikan, dipaksa mengundurkan diri, bahkan kena PHK jika terlibat dalam pemogokan. Di sisi lain, perempuan harus tunduk pada sistem yang patriarkis. Budaya sosial yang menempatkan perempuan hanya berfungsi menjadi ibu bagi anak-anak dan suami yang baik. Budak rumah tangga. Dipaksa menerima ‘kordat’perempuan dengan karakter submisif, penutut, dan pasif secara politik.
Jika ada yang terlibat dalam pengorganisiran dan perjuangan, selalu mendapat stigma buruk. Kekritisan perempuan justru dianggap hal tabu. Walau sekarang sudah sedikit banyak perempuan yang terlibat dalam perjuangan, namun bukan berarti bebas dari hukum dan norma-norma masyarakat yang menindas.
Ini yang tidak lenyap pada masa reformasi. Sisa-sisa sampah Orba melanggengkannya. Memelihara PKK dan Dharma Wanita yang didirikan Orba sebagai organisasi yang melemahkan gerakan dan perjuangan perempuan. PKK dan Dharma Wanita ini adalah proyeksi rezim sebagai ganti dari organisasi perempuan yang progresif. Salah satunya Gerwani yang dibabat habis perempuan-perempuannya. Anggota-anggotanya diperkosa lalu dijadikan tahahan dan sebagian lainnya dibunuh. Gerwani dianggap bertentangan dengan kodrat perempuan dan agenda rezim. Mereka mendapat stigma yang cukup buruk: komunis, tidak bermoral dan anti agama.
Pola-pola seperti ini yang masih digunakan rezim untuk mempertahankan kekuasaannya dan melanggengkan sistem ekonomi kapitalisme despotik yang dibangun Soeharto dan kroni-kroni militernya selama 32 tahun.
Marsinah sudah tiada. Soeharto pun sudah tumbang. Reformasi sudah berjalan hampir 22 tahun. Namun, nasib kita masih sama: ditindas terus-menerus. Banyak pelanggaran HAM tidak pernah diselesaikan, termasuk kasus Marsinah. Di pabrik, kita masih sering melihat perlakuan seweang-wenang pengusaha terhadap buruh. Serikat yang memprotes kekejaman sistem kerja di perusahaan, selalu mendapat teror dan intimidasi. Tak jarang terkena PHK. Serikatnya kerap diberangus.
Di sektor gerakan rakyat lainnya, perampasan ruang hidup, kerusakan lingkungan, dan penjarahan sumber daya alam masih masif terjadi. Siapa yang melawan, tentu berhadapan dengan negara. Benar salah ada di tangan negara. Tak jarang banyak yang dipenjarakan karena ini.
Di era Jokowi, walau sudah dua kali perode, tidak banyak yang berubah kecuali memuluskan pembungkaman demokrasi, mempreteli hak-hak rakyat dan buruh dan memberi jalan kepada militer untuk menguasai ranah sipil. Misalnya ada Wiranto, juga Prabowo yang saat ini jadi Menteri Pertahanan. Catatan kelam Prabowo tak pernah terungkap. Masih banyak sekali militer yang ongkang-ongkang kaki di pos-pos perusahaan juga sebagai dalang represivitas pada masa lalu.
Apalagi saat ini. Di tengah situasi yang tidak kondusif, rakyat dan buruh membutuhkan kekuatan negara sebagai ‘penyelamat’, justru disodorkan hidangan dengan sebuah regulasi ‘sapu jagat’, Omnibus Law. Rancangan Undang-Undang yang di dalamnya memiliki subtansi memberangus seluruh hajat hidup rakyat demi kepentingan modal besar.
Sehingga, mengharapkan negara menyelesaikan setumpuk persoalan termasuk pelanggaran HAM sama hal dengan adagium “keluar lobang buaya, masuk ke mulut singa”. Membayangkan negara akan menjadi bermartabat sangat sulit sekali. Karena tidak mungkin, kecuali sistem ini diganti dengan yang lebih manusiawi.
Itu artinya cuman gerakan buruh dan gerakan rakyat yang bisa membangun kekuatan sendiri melawan sistem kejam ini. Bukan menitipkan kepada elit-elit negara, termasuk elit serikat. Marsinah, salah satu buruh perempuan yang sudah menunjukan itu. Tidak ada yang diberikan cuma-cuma oleh negara. Harga untuk kelayakan hidup adalah nyawa. Cukuplah dia jadi martir bagi pejuangan buruh dan rakyat.
Kita dan kelompok tertindas yang sekarang, yang harus melanjutkan apa yang diperjuangkan Marsinah. Baik itu persoalan normatif buruh dan rakyat, hingga tuntutan yang lebih politis. Jalannya memang tidak mudah. Namun, bila dimulai dari sekarang dengan membangun solidaritas dan menguatkan jejaring perlawanan dari kelas tertindas, akan memungkinkan kita mendirikan sebuah kekuatan politik alternatif.
Syarat kekuatan politik alternatif ini pun harus lebih tegas. Siapapun, yang menjadi bagian dari pelaku pelanggaran HAM, mendukung sisa-sisa sampah Orba, kelompok rekasioner, termasuk pelaku kekerasan seksual, harus disingkirkan. Tidak bisa menjadi bagian perjuangan demokrasi dan kekuatan alternatif. Ini membahayakan. Kenapa? Karena kita sedang mau membangun sebuah kekuatan untuk mendirikan sistem yang lebih manusiawi, lebih demokratis dan tentu membuat semua orang hidup dalam kebahagiaan tanpa ada kekuasaan yang menindas.