Solidaritas.net, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bela negara bernuansa wajib militer yang terlihat dalam pernyataan Ryamizard Ryacudu bahwa warga negara yang tidak ikut bela negara sebaiknya angkat kaki dari Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari berbagai organisasi, yakni Imparsial, KontraS, Elsam, LBH Jakarta, YLBHI, LBH Pers, Lesperssi, HRWG, SETARA Institute, Indonesia Tanpa Militerisme (ITM). Rabu (14/10/2015), Koalisi Masyarakat Sipil melakukan konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Berikut siaran persnya:
Bela Negara oleh Kementerian Pertahanan adalah Kurang Tepat
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan berencana akan membentuk wajib bela negara. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan dalam 10 tahun kedepan akan ada wajib bela negara terhadap 100 juta penduduk Indonesia dengan tujuan untuk membangun rasa nasionalisme dan mempertahankan kedaulatan negara. Wajib bela negara tersebut akan diterapkan bagi setiap warga negara yang berada dibawah usia 50 tahun.
Meski Menteri Pertahanan menyatakan bela negara bukan wajib militer tetapi substansi bela negara sebagaimana diucapkan Menteri Pertahanan bernuansa wajib militer. Hal itu terlihat dari pernyataan Menteri Pertahanan yang menyatakan warga negara yang tidak ikut bela negara sebaiknya angkat kaki dari Indonesia. Pada periode pemerintahan yang lalu, pemerintah juga mengajukan konsep komponen cadangan yang secara substansi merupakan wajib militer sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-undang tentang Komponen Cadangan.
Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa jika pemerintah ingin membentuk bela negara dengan tujuan menciptakan rasa nasionalisme maka seharusnya yang melakukan itu adalah Kementerian Pendidikan dengan memaksimalkan pendidikan kewarganegaraan di institusi pendidikan dan berbagai program lain di institusi pendidikan.[1] Dengan demikian pembangunan rasa nasionalisme dengan program bela negara yang dilaukan Kementerian Pertahanan adalah tidak tepat sebaiknya hal tersebut dilakukan oleh Kementerian Pendidikan.
Dengan dimasukkannya bela negara yang bertujuan membangun rasa nasionalisme dalam sistem pendidikan maka hal itu tidak akan menimbulkan beban baru bagi anggaran negara khususnya anggaran Pertahanan. Sebagaimana diketahui hingga kini Kementerian Pertahanan dan TNI masih kekurangan anggaran dalam pengadaan alutsista maupun dalam peningkatan kesejahteraan prajurit. Untuk pengadaan alutsista saja Indonesia baru bisa menyelesaikan program minimum essential force pada tahun 2024. Itu artinya negara masih memiliki kekurangan anggaran untuk mendukung persenjataan TNI dan kesejahteraan prajurit TNI sebagai komponen utama sistem pertahanan. Pembentukan bela negara oleh Kementerian Pertahanan dengan target 100 juta warga negara jelas akan menjadi beban bagi anggaran negara dan anggaran pertahanan.
Dalam tataran konsepsi maupun implementasi rasa nasionalisme jangan dimaknai secara sempit berupa bentuk militerisasi sipil melalui pendidikan dan pelatihan dasar kemiliteran. Bela negara dalam konteks kekinian harus dipandang secara luas dan konprehensif yakni bela negara harus dimaknai sebagai bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun bangsanya menuju negara yang lebih maju dan demokratis. Kelompok masyarakat yang memperjuangkan pemberantasan korupsi adalah wujud bela negara, kelompok masyarakat yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup adalah wujud bela negara, kelompok masyarakat yang memperjuangkan hak asasi manusia adalah wujud bela negara, jurnalis yang menginformasikan berita untuk pencerahan publik juga merupakan wujud bela negara, dan lainnya. Itu artinya bela negara bukan merupakan militersisasi sipil tetapi merupakan bentuk partisipasi masyarakat didalam membangun bangsanya dengan berbagai cara.
Dalam konteks pertahanan negara untuk menghadapi kemungkinan ancaman perang Kementerian Pertahanan seharusnya memfokuskan pembangunan kekuatan utama yakni TNI dan bukan membentuk bela negara. Dalam konsep perang modern (modern warfare) pembangunan kekuatan pertahanan lebih menitikberatkan pada komponen utamanya yakni militer dengan penguatan teknologi pertahanan dan peningkatan kualitas tentara yang profesional. Sebagai perbandingan, sebagian besar negara-negara yang memiliki wajib militer sudah menghapus wajib militernya dan lebih menekankan penguatan komponen utamanya (militer) melalui peningkatan teknologi persenjataan dan menciptakan tentara yang profesional.
Pembentukan bela negara dengan pelatihan dasar kemiliteran yang dilakukan oleh keMenterian pertahanan dapat membuka ruang terbentuknya berbagai macam milisi/ paramiliter baru. Dalam sejarah Indonesia milisi atau para militer seringkali menjadi bagian masalah dari berbagai konflik yang ada seperti milisi di Timor Leste, milisi di Aceh, milisi di Papua maupun seperti Pamswakarsa di Jakarta.
Pembentukan bela negara yang bernuansa wajib militer dimana jika warga negara yang menolak perlu angkat kaki dari Indonesia sebagaimana dimaksud Menteri Pertahanan bertentangan dengan prinsip prinsip HAM khususnya bertentangan dengan Resolusi PBB terkait dengan prinsip conscientious objection yang mengakui bahwa setiap warga negara yang atas dasar keyakinan dan agamanya berhak menolak dalam wajib militer karena menolak penyelesaian konflik dengan senjata (implisit diatur di dalam DUHAM Pasal 18 dan ICCPR Pasal 18 sebagai tafsir progresif atas hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama). Bahkan Komisi Tinggi HAM PBB (OHCHR) juga telah mengeluarkan resolusi mengenai adanya hak untuk menolak partisipasi wajib individual atas agenda wajib militer melalui Resolusi 1998/77. Pemerintah juga harus memiliki konsiderasi khusus atas penerapan Hukum Pengungsi Internasional (the 1951 Convention, meskipun Pemerintah Indonesia belum meratifikasi namun instrumen ini sudah diterima sebagai Hukum Kebiasaan Internasional) yang memberikan jaminan perlindungan bagi setiap individu pengungsi yang mendapatkan persekusi dari penolakan atas sifat wajib bela negara di Indonesia, dengan terpenuhinya elemen well founded of fear.
Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa program bela negara yang bernuansa wajib sebagaimana diungkapkan Menteri Pertahanan adalah tidak tepat. Sebaiknya pembangunan rasa nasionalisme dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dengan memaksimalkan pendidikan kewarganegaraan dan program ekstrakurikuler lainnya di institusi pendidikan. Bela negara juga jangan dimaknai sebagai bentuk militerisasi sipil melalui pendidikan dasar kemiliteran tetapi harus dimaknai sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam membangun bangsanya dengan berbagai macam cara.
Jakarta, 14 Oktober 2015
Koalisi Masyarakat Sipil
Imparsial, KontraS, Elsam, LBH Jakarta, YLBHI, LBH Pers, Lesperssi, HRWG, SETARA Institute, Indonesia Tanpa Militerisme (ITM).
[1] Berbagai program tersebut antara lain, Pramuka, PMR, Paskibra, Dll.