Solidaritas.net – Perlawanan terhadap sistem kerja kontrak (pkwt) dan outsourcing terus digaungkan, meski belum meluas secara maksimal. Salah satu sebabnya adalah serikat-serikat buruh besar tidak menjadikan hal ini sebagai agenda utama perjuangan mereka. Bisa dilihat dalam tuntutan aksi terakhir Gerakan Buruh Indonesia (GBI), yang terdiri dari KSPI, KSPSI, KSBSI dan SBTPI, pada 1 September 2015 yang lalu[1].
Ada beberapa alasan kuat mengapa kaum buruh mesti melawan sistem kerja kontrak (pkwt) dan outsourcing, yaitu:
Pertama, mayoritas penerapan sistem kerja kontrak (pkwt) dan outsourcing di banyak perusahaan, bertentangan dengan ketentuan dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kedua, sistem ini melemahkan serikat buruh secara organisasi, sebab sistem kerja kontrak (pkwt) dan outsourcing membuat keberadaan buruh di pabrik selalu berganti. Sehingga sulit bagi serikat buruh untuk memperluas keanggotaan (kekuatan) di tingkat pabrik, bahkan dengan semakin banyaknya buruh kontrak (pkwt) dan outsourcing, akan menjadi semakin lemahlah kekuatan serikat buruh tersebut.
Ketiga, sistem ini melemahkan gerakan buruh, sebab mayoritas buruh kontrak (pkwt) dan outsourcing tidak memiliki keberanian untuk berorganisasi dan melawan. Sikap buruh kontrak (pkwt) dan outsourcing tersebut merupakan hal yang wajar sebab hidupnya (dalam bekerja) selalu terancam resiko pemecatan setiap saat. Apalagi ditambah kenyataan bahwa serikat buruh yang ada tidak bersedia memperjuangkan mereka.
Keempat, sistem ini adalah cerminan dari diskriminasi di tempat kerja, sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas buruh kontrak (pkwt) melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan oleh buruh tetap (pkwtt). Namun buruh kontrak (pkwt) tidak mendapatkan hak yang sama layaknya buruh tetap (pkwtt), maka dengan melawan sistem ini, sekaligus juga melawan diskriminasi di tempat kerja.
Kelima, sistem ini merendahkan martabat manusia karena mengakibatkan munculnya perlakuan sewenang-wenang akibat lemahnya posisi tawar mereka (buruh kontrak). Sebagai contoh kasus, banyak buruh perempuan mengalami tindakan pelecehan seksual, akan tetapi tidak berani memperkarakan hal tersebut karena resikonya diputuskan atau tidak diperpanjang kontraknya. Sehingga perlawanan terhadap sistem kerja kontrak (pwkt) dan outsourcing juga sekaligus menjadi perjuangan kemanusiaan.
Keenam, sistem ini berperan dalam meningkatkan jumlah pengangguran akibat buruh kontrak (pkwt) yang selesai kontrak kerjanya di atas usia 25 tahun, akan kesulitan untuk mencari pekerjaan kembali. Dampak dari meningkatnya jumlah pengangguran adalah penurunan daya beli masyarakat karena pengangguran berarti mereka yang tidak memiliki pendapatan tetap. Dan penurunan daya beli inilah yang mengakibatkan barang-barang hasil produksi tidak terbeli lagi, atau dengan kata lain, penurunan daya beli inilah penyebab terjadinya krisis ekonomi.
Oleh karena itu perlawanan terhadap sistem kerja kontrak (pwkt) dan outsourcing ini menjadi sangat penting bagi kaum buruh. Tidak hanya sebatas melawan pelanggaran aturan ketenagakerjaan di tingkat pabrik, melainkan juga diarahkan pada perjuangan politik, untuk menghapuskan sama sekali sistem kerja kontrak (pwkt) dan outsourcing dari undang-undang.
Dengan kata lain, perjuangan pembebasan buruh kontrak (pkwt) dan outsourcing, menjadi salah satu syarat yang dibutuhkan sebagai landasan mendorong pembentukan kekuatan politik kaum buruh. Kekuatan politik alternatif yang berlandaskan massa sadar, bukan massa yang menggantungkan masa depannya pada elit-elit maupun partai politik saat ini, yang telah terbukti tidak berpihak pada rakyat. (Baca: Buruh Sebagai Pion Bukan Syarat Politik Alternatif).
Catatan kaki:
1. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/09/01/ntzi8h349-ini-sepuluh-tuntutan-buruh-dalam-aksi-1-september