Memiskinkan Buruh dengan Gugatan Perdata

gugatan perdata
gugatan perdata
Poster solidaritas untuk Dayat dkk. Sumber: KASBI

Saat ini ada dua kasus di mana buruh digugat secara perdata oleh pengusaha. Kasus pertama, pengusaha PT. Dream Sentosa Indonesia menggugat buruhnya, Dayat dkk sebesar Rp750 juta di Pengadilan Negeri Karawang. Buruh digugat setelah menolak pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kasus kedua adalah gugatan PT. Metro Tara sebesar Rp13 miliar kepada buruhnya, Andri dkk, dengan tuduhan pemogokan buruh telah merugikan perusahaan. Pengusaha juga meminta hakim untuk melakukan penyitaan terhadap rumah yang ditempati oleh buruh.

Sungguh mengherankan bagaimana bisa sebuah kasus perburuhan malah disidangkan di peradilan perdata. Sesuai dengan ketentuan UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), kasus perburuhan seharusnya disidangkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Hal ini sekali lagi hanya membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi para pemilik modal. Hukum bisa dibolak-balik oleh mereka yang memiliki sumber daya modal. Hukum dan kekuasaan bisa dikondisikan. Sebetulnya cara ini hanyalah sebuah taktik untuk mempersulit buruh melawan secara hukum.

Dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPHI, salah satu hak yang diberikan kepada serikat buruh yang sudah memiliki nomor bukti pencatatan adalah mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Hal ini termasuk menjadi pengacara dalam melawan pengusaha dalam persidangan di PHI.

Jika kasus perburuhan disidangkan di peradilan perdata, maka serikat buruh tidak bisa mewakili anggotanya. Buruh harus menggunakan pengacara dan tidak semua serikat buruh memiliki pengacara sendiri. Menjadi pengacara bukan hal mudah bagi buruh. Banyak syarat yang harus dipenuhi di antaranya berijazah S1 Hukum, magang selama dua tahun terus-menerus di kantor advokat dan lulus ujian yang diselenggarakan oleh organisasi advokat yang biasanya mengharuskan peserta harus mengikuti pelatihan advokat terlebih dahulu. Kalau sudah begini, serikat buruh yang tidak memiliki pengacara sendiri terpaksa mendatangkan pengacara dari luar.

Buruh mau tak mau harus meladeni gugatan pengusaha di peradilan perdata. Apabila buruh tidak datang sebanyak tiga kali berturut-turut yang sudah dipanggil secara berturut-turut, maka hakim dapat mengeluarkan putusan verstek yang memenangkan pengusaha.

Memang hakim kemungkinan besar tidak akan mengabulkan gugatan pengusaha pada akhirnya. Kasus perburuhan dinyatakan sebagai lex specialis yang seharusnya tidak menggunakan jalur peradilan perdata umum. Tapi tujuan pengusaha sebetulnya membuat buruh mengeluarkan energi yang besar sehingga tidak fokus lagi pada tuntutan awal.

Semua kasus ini memiliki pangkal masalah yang coba dihindari oleh pengusaha. Dalam kasus PT. Metro Tara, masalah awalnya dipicu oleh pelanggaran penggunaan buruh kontrak (PKWT), transparansi pembagian tunjangan hari raya (THR) dan tabungan tahunan. Sedangkan dalam kasus PT. Dream Sentosa Indonesia, buruh menolak PHK dengan alasan penutupan perusahaan karena perusahaan ternyata tidak melaporkan penutupan tersebut kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag).

Menghadapi gugatan perdata tentu membuat buruh sibuk dan repot sehingga tekanan pada tuntutan semula menjadi lebih longgar. Dalam hal ini pengusaha melakukan mutasi dari perkara pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha menjadi seolah buruh yang bermasalah.

Dalam mengatasinya, mempertahankan tuntutan semula dalam agitasi dan propaganda harus dilakukan. Isian kampanye harus ditajamkan menjadi lebih tinggi dengan aksi-aksi yang lebih besar.

Tinggalkan Balasan