Mempertimbangkan Internet dalam Gerakan Demokrasi di Indonesia

Oleh Damar Juniarto*

Tulisan ini akan menjelaskan perkembangan pemanfaatan teknologi internet belakangan ini, khususnya pemanfaatan media sosial oleh netizen Indonesia untuk demokrasi. Selain itu, tulisan ini akan juga menjelaskan bagaimana UU ITE — yakni peraturan perundangan yang ada selama ini — dipakai untuk memidanakan netizen atas aktivitasnya di media sosial dan implikasinya pada pelemahan demokrasi di Indonesia.
___

Kredit: Essam Sharaf (CC BY-SA 3.0)

INTERNET telah menjadi instrumen paling kuat dalam abad ke-21 untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi kerja pemerintahan, memberi akses pada informasi, dan juga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis. Pemanfaatan teknologi internet untuk gerakan masyarakat sipil terutama terlihat mulai tahun 2011 lewat gerakan Arab Spring yang berawal dari Tunisia, Indignadas di Spanyol, hingga gerakan Occupy yang mendunia, sampai-sampai TIME magazine menobatkan tahun 2011 menjadi Tahunnya Para Pemrotes. Warga garda depan yang ingin melakukan perubahan politik dengan pola pikir teknologi itu kemudian disebut John Postill (2014) sebagai kelompok Teknolog Pembebasan/Freedom Technologist.

Kelompok Teknolog Pembebasan ini memainkan peranan penting dalam menumbangkan rezim otoriter Presiden Zen el-Abedine Ben Ali di Tunisia. Postill menemukan peran pengacara dan blogger Riadh Guerfali yang membuat situs TuniLeaks berisi bocoran kawat diplomatik AS, lalu terhubung dengan mantan aktivis Ali Bouazizi yang mengunggah video pembakaran diri sepupunya Mohamed Bouazizi penjaja makanan di Facebook, kemudian video itu diberitakan ke seluruh Arab oleh Al Jazeera yang dilarang masuk ke Tunisia. Al Jazeera adalah media baru yang memanfaatkan media sosial dan blog untuk memotong birokrasi yang ketat dan memberitakan secara cepat kejadian di masyarakat. Tatkala pemerintah Tunisia melakukan sensor Facebook, kelompok  Anonymous melakukan Operasi Tunisia dengan menyerang situs-situs pemerintah Tunisia dengan bantuan dari netizen Tunisia sehingga pada akhirnya Presiden Ben Ali jatuh dan gerakan sipil ini meluas ke Syria, Irak, hingga Libya.

Di Spanyol, Postill menemukan peran pengacara hak cipta digital Carlos Sanchez Almeida yang membuat gerakan digital #NoLesVotes bersama sejumlah aktivis internet untuk mengajak warga Spanyol tidak lagi memberi suara untuk partai mayoritas sejak partai besar Spanyol mengeluarkan RUU tentang copyright akibat tekanan Amerika Serikat. Gerakan tersebut dilanjutkan oleh Gala Pin, Simona Levi, Javier Toret dan kawan-kawannya dengan membentuk organisasi payung Democracia Real Ya/Demokrasi Sekarang Juga yang melakukan aksi massa ke jalan-jalan Madrid, termasuk melibatkan hacker ternama Isaac Hacksimov yang memutuskan untuk berkemah di lapangan Madrid dan direplikasi di seluruh Spanyol dan menjadi inspirasi gerakan Occupy yang mendunia. Mereka inilah, menurut Postill, para aktor demokrasi yang baru. (John Postill, 2014)

Pendapat lain juga ditulis oleh Manuel Castells, sosiolog terkemuka dari Universitat Oberta de Catalunya Spanyol yang kerap meneliti tentang masyarakat informasi, komunikasi dan globalisasi. Dalam bukunya Networks of Outrage and Hope, Manuel Castells menunjukkan minatnya pada gerakan-gerakan masyarakat sipil yang terjadi pada 2011 untuk meruntuhkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan dunia yang ia anggap sama seperti menyebarnya viral gagasan-gagasan dan imaji-imaji akan masyarakat yang bebas dari penindasan.

Castells menulis bagaimana ia sebagai bagian dari mahasiswa yang ikut terlibat dari gerakan mahasiswa ’68 merasa menemukan lagi gerakan sipil yang dulu dikenalnya, meskipun untuk gerakan masyarakat sipil yang baru ini ia menandai adanya perubahan yang cukup signifikan di mana teknologi informasi memiliki peranan menghasilkan komunikasi otonom yang tidak terpenjara oleh kepentingan dari media dan pemilik modal.

Dengan adanya internet, terjadi apa yang disebut Castells dengan “mass self-communication”, yakni penggunaan Internet dan jaringan nirkabel sebagai platform dari komunikasi digital sehingga produksi pesan dilakukan secara otonom oleh warga dan sulit dikontrol oleh pemerintah atau korporasi. Itu yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan masyarakat baru ini. (Manuel Castells, 2012)

Peran Internet Dalam Gerakan Demokrasi Indonesia

Titik inilah yang saya pikir dapat dijadikan pintu masuk untuk serius memertimbangkan peranan internet dalam demokrasi di Indonesia. Kembali ke tahun 1994 hingga awal tahun 2000 ketika internet mulai digunakan oleh gerakan prodemokrasi di Indonesia hingga David T. Hill dan Krishna Sen menulis bahwa teknologi komunikasi seperti Internet memainkan peran sentral untuk menggulingkan kediktatoran Soeharto (David T. Hill dan Krisna Sen, 2005).

Lalu lompat ke tahun 2009, muncul gerakan Cicak versus Buaya di Facebook sebagai bukti bagaimana media sosial dapat berperan untuk mengumpulkan mereka yang sepakat untuk melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kelompok yang dipercaya ingin mengerdilkan peran KPK dengan menyatakan KPK tak lebih dari cicak yang akan berhadapan dengan buaya. Jutaan followers berhasil dikumpulkan oleh gerakan masyarakat sipil ini dan ratusan dapat dikerahkan secara organik untuk membendung upaya penggembosan KPK.

Kemudian pada tahun 2013, gerakan warga Rembang, Jawa Tengah secara kolektif dan sengaja memutuskan memakai internet/media sosial ketika melihat fakta media-media di Jawa Tengah dibungkam untuk memberitakan persoalan keberadaan pabrik semen di Rembang. Perjalanan mereka dimulai dari belajar memakai media sosial dan sempat harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari buzzer yang berhasil membajak hashtag #SaveRembang yang mereka pakai sebelumnya. Namun perebutan ruang tersebut kemudian dimenangkan oleh gerakan warga Rembang setelah mereka mengubah strategi lapangan dengan mengganti hashtag menjadi #RembangMelawan yang lebih progresif dan #DemiRembang yang memanfaatkan penggalangan dukungan lewat platform petisi online Change.org.

Sangat menarik untuk dipelajari bagaimana warga desa seperti di Rembang yang selama ini dipersepsi terbelakang dalam pemanfaatan teknologi internet, justru sekarang menjadi contoh gerakan masyarakat baru  yang berhasil memadu-padankan antara model gerakan tradisional lewat jalur kebudayaan dan gerakan modern lewat jalur sosial media.

Contoh yang kurang lebih senada juga bisa dilihat pada gerakan masyarakat Ciptagelar, Jawa Barat yang memilih memakai teknologi informasi untuk mencapai tujuan-tujuan demokratis yang mereka bayangkan, semisal dengan memproduksi siaran televisi sendiri lewat CigaTV, mengupayakan jalur komunikasi nirkabel antar warga dengan pemanfaatan OpenBTS serta pemakaian internet untuk memecahkan persoalan warga.

Di Indonesia juga sudah terjadi pemanfaatan internet untuk demokrasi. Pemilu 2014 menandai inisiatif digital untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam Temu Demokrasi Digital 2014 yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD) setidaknya pada 2014 telah lahir 64 inisiatif di internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki demokrasi dengan rincian ada 33 buah inisiatif berbasis platform/website, 30 buah berbasis mobile application dan 1 buah berbasis keduanya. Ini di luar inisiatif yang bersifat partisan atau yang dilahirkan oleh media massa.

Dari 34 platform atau website tersebut, 20 buah ditujukan khusus untuk kepentingan Pemilu, 6 buah tidak terkait langsung dengan Pemilu dan 8 buah berguna/bermanfaat untuk keduanya. Sementara, dari 31 aplikasi itu, seluruhnya (100%) terkait dengan kepentingan pemilu.

Jika dipetakan berdasar fungsinya, dari 34 platform/website tersebut: (a) ada 4 lembaga yang melakukan pemantauan media sosial termasuk di antaranya Politicawave, Provetic dan aspirasikita.org; (b) ada 4 yang berbentuk wadah petisi daring dengan pengguna terbanyak adalah Change.org (900.000); (c) ada 16 yang melakukan voter education; (d) ada 10 yang mengerjakan pelacakan latar belakang politisi; (e) ada 9 yang melakukan e-counting termasuk kawalpemilu.org; (f) ada 9 yang melakukan public assessment seperti Meteranpolitik.org dan KawalMenteri 2; (g) ada 7 yang melakukan election watchdog termasuk MataMassa.org dan ini yang paling menarik (h) ada 8 yang melakukan netizen proposal, yakni seperti: kabinetrakyat.org, KAUR dan kawalmenteri.org. Background checking, e-counting, public assessment, election watchdog dan netizen proposal adalah inisiatif terbaru di Indonesia dan hanya terjadi di 2014.

Sementara, jika dipetakan berdasar metodenya, dari 34 platform/website tersebut: (a) ada 29 yang menggunakan cara penyajian data; (b) ada 7 yang menggunakan cara review aggregator, seperti: jariungu.com dan meteranpolitik.org; (c) ada 21 yang menggunakan cara crowdsourcing; (d) ada 6 yang menggunakan cara voting machine; (e) ada 4 yang menggunakan cara crawling machine dan (f) ada 7 yang dilengkapi dengan opini/analisis.

Situs kawalpemilu.org yang berbasis e-counting menjadi fenomenal pada Pemilu 2014 lalu karena berhasil mengawal suara publik dan mengontrol kinerja KPU. Dengan pendekatan crowdsourcing dan big data, situs yang diinisiasi oleh Ainun Najib ini menghimpun inisiatif dan itikad warga untuk mengawal dan mengontrol jalannya Pemilu yang difasilitasi oleh Internet. Situs kawal pemilu kemudian bertransformasi menjadi kawalpresiden.org. Situs ini mampu menjembatani conversational leadership ala Jokowi yang selama ini gemar blusukan dan ngobrol  bersama rakyat sehingga percakapan (conversations) bisa terjalin nyaris tanpa batas. (Yohanes Widodo, 2016)

Beberapa contoh tadi memberi kesan kuat pada saya bahwa peranan internet cukup signifikan ketika kita berbicara mengenai wajah demokrasi hari ini. Hal ini sejalan dengan gelombang pemanfaatan teknologi internet terutama media sosial di berbagai belahan dunia bahwa hari ini internet bukan lagi hanya memampukan seseorang untuk menggunakan hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi juga mampu menyuarakan hak asasi manusia dan mendorong kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik dan memiliki peranan untuk memenuhi hak warga atas kebenaran. Tanpa akses ke informasi yang memadai yang disediakan oleh internet, maka gagasan akan transparansi, akuntabilitas pejabat publik, pemberantasan korupsi ataupun partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, lebih sulit untuk terwujud.

Dalam pemikiran saya, dinamika yang sekarang terjadi di internet memperlihatkan bagaimana masyarakat sekarang ini sedang menggunakan internet untuk melakukan counter-power, melakukan kontestasi kekuasaan atas pemahaman yang ajeg atas bernegara, beragama, dan berekonomi. Masyarakat sedang melakukan adu wacana akan gagasan NKRI, agama yang mayoritas, dan ekonomi yang dikuasai oleh oligarki. Saat ini sedang terjadi perluasan ruang publik-sosial politik ke cyberspace yang disebut demokrasi digital sehingga apa yang terjadi di internet sebetulnya merupakan kepanjangan tangan dari apa yang sulit terjadi di lapangan.

Upaya Melemahkan Demokrasi Digital

Namun berbagai catatan mengenai keberadaan demokrasi yang berjalan dengan memanfaatkan teknologi informasi dari internet dan media sosial bukan berarti tidak mendapat halangan dan ancaman. Halangan dan ancaman atas demokrasi di internet ini saya bagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang berasal dari regulasi atau peraturan negara, sedang yang kelompok kedua yang berasal dari kekuatan anti-demokrasi yang juga hidup dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

Kehadiran Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 atau disingkat UU ITE merupakan bentuk regulasi yang semula dianggap bisa melindungi kepentingan swasta, negara, dan publik dari ancaman-ancaman kejahatan siber (cybercrimes). Di dalam kategori kejahatan siber itu, pembuat kebijakan pada saat itu memasukkan tiga pasal mengenai defamasi, penodaaan agama dan ancaman online yang dianggap bisa mengisi kekosongan regulasi untuk menjerat para pelaku kejahatan yang memakai teknologi informasi.

Akan tetapi, SAFENET/ Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat dari ada lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar defamasi, penodaan agama, dan ancaman. (SAFENET, 2016) Organisasi ini juga menilai munculnya empat pola pemidanaan baru yaitu: aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik dan terapi kejut, yang membias dari tujuan awalnya. Jika semula pasal-pasal ini dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber, tetapi kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, polemik, hingga kritik kepada pimpinan daerah.

Selain UU ITE, SAFENET juga melihat kebijakan sensor lewat praktik filtering dan blokir situsweb yang dipakai juga untuk merepresi kebebasan ekspresi alih-alih untuk membendung kejahatan berbasis diskriminasi etnis dan ras serta terorisme. Sehingga implikasinya pada demokrasi dapat dilihat dari sejumlah indikator, antara lain:

Pertama, terjadi efek jera sehingga pengguna internet/media sosial takut untuk memanfaatkan lagi teknologi internet ini untuk demokrasi. Kedua, terjadi penutupan media online baik karena pemiliknya dituntut dengan UU ITE atau situswebnya diblokir oleh Kominfo atas aduan masyarakat. Ketiga, pelemahan gerakan-gerakan masyarakat baru dengan cara mengkriminalisasikan aktor-aktor demokrasinya dengan UU ITE. Untuk contoh yang terakhir dapat merujuk pada pemidanaan 11 aktivis dalam setahun terakhir (SAFENET, 2016).

Kelompok kedua yang saya pikir telah melemahkan demokrasi digital adalah mereka yang memakai internet dan media sosial untuk agenda anti-demokrasinya, semisal melancarkan kampanye mengkafir-kafirkan pemeluk agama lain di luar kelompoknya (hate speech), melakukan diskriminasi terhadap kelompok LGBT, praktik pengarusutamaan informasi bohong lewat buzzer dan bot, serta trolling kebencian yang dilancarkan secara masif dan terencana. Ada banyak kelompok yang harus diwaspadai karena secara aktif mereka paham cara kerja internet dan media sosial untuk mereproduksi pesan yang mereka perjuangkan.

Dibutuhkan upaya bersama dari mereka yang mempercayai teknologi internet bisa digunakan untuk demokrasi agar masalah ini tertangani secara baik, karena bila tidak lekas-lekas diatasi maka akan menimbulkan persoalan serius dalam demokrasi Indonesia.

Cara yang disarankan untuk menanganinya yakni merevisi berbagai regulasi yang menghambat demokrasi digital dengan perspektif menghargai hak asasi manusia dalam teknologi baru, melakukan literasi digital di kalangan usia muda (anak dan remaja) agar mereka melek pemanfaatan internet yang demokratis, dan konsolidasi dari para kelompok teknologi pembebasan untuk terus mendorong pemanfaatan internet untuk demokrasi di Indonesia. Konsolidasi ini barangkali benihnya sudah ada, tapi masih perlu diperluas dengan melibatkan lebih banyak pihak semisal gerakan perempuan dan para pendidik di sekolah-sekolah.

* Koordinator Regional SAFENET untuk wilayah Asia Tenggara

Tinggalkan Balasan