Pada 6 Maret 2019, perusahaan produsen ban multinasional yang berbasis di Prancis mengakuisisi 80 persen saham Multistrada Arah Sarana (MASA) senilai US$439 juta. Sejak 2017, Michelin memang menjadi pembeli (buyer) ban motor Multistrada, lalu berubah menjadi ketertarikan mengakuisi. Keputusan ini dibuat karena Michelin meyakini pangsa pasar MASA akan meningkat. Saat dibeli, pangsa pasar ban mobil MASA berkisar 11 persen, sementara ban motor sekitar 9 sampai 10 persen. [1]
Yang mungkin tidak diketahui oleh Michelin adalah ada buruh-buruh PT. Sum Hing Indonesia (PT. SHI) yang berada di balik rantai produksi Multistrada. Mereka adalah buruh-buruh yang mengerjakan molding (cetakan) ban mobil dan motor bermerek Michelin.
Buruh-buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pejuang Buruh PT. Sum Hing Indonesia (SPPB PT. SHI) ini sedang memperjuangkan hak mereka menjadi karyawan tetap melalui proses perselisihan hubungan industrial.
Tuntutan buruh berpangkal dari praktik kontrak dan outsourcing yang dinilai tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Pengusaha PT. SHI menggunakan buruh (outsourcing) dari PT. Nindy Putri Mandiri. Mereka dipekerjakan di bagian Storage, Diss Assembly, Mold Repair, Assembly Mold, Finishing/ Machining, dan Quality Control, yang merupakan bagian produksi yang bersifat tetap.
Sedangkan, pekerja outsourcing hanya diperkenankan dipekerjakan di bagian produksi penunjang saja, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 65 dan 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Jika melihat dari bagian produksi yang bersifat tetap itu, maka buruh seharusnya juga tidak dapat dipekerjakan sebagai buruh kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Buruh seharusnya menjadi karyawan tetap dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) sesuai dengan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan.
Pasal 59 UU ini mengatur pembatasan penggunaan pekerja PKWT hanya di bagian produksi tidak tetap, produk baru, musiman dan produksinya tidak lebih dari tiga tahun. Sejumlah buruh bahkan ada yang telah dipekerjakan selama empat sampai lima tahun.
Kasus ini telah sampai ke mediasi di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi dengan hasil keluarnya Anjuran Disnaker Nomor : 565/91/Disnaker yang merekomendasi buruh kontrak (PKWT) dijadikan karyawan tetap sesuai Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan dan Anjuran Nomor : 567/1660/Disnaker tertanggal 18 Maret 2020 yang merekomendasikan buruh outsourcing juga diangkat menjadi karyawan tetap.
Pada halaman 10 kode etik Michelin, menyatakan sebagai berikut:
Michelin ingin memastikan bahwa pemasok dan penyedia jasanya menghormati prinsip-prinsip yang setara dengan yang ditetapkan oleh Kode Etik Grup, terutama mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan bahwa mereka mempromosikan prinsip yang sama dalam hubungannya dengan pemasok dan kontraktor. Michelin terutama meminta pemasok dan subkontraktornya menghormati hal berikut ini:
- Peraturan internasional khususnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Ringkasan Global (Global Compact) dan Panduan OECD;
- Ketentuan hukum dan peraturan mengenai hukum perburuhan yang berlaku di negeri tersebut (tingkat upah, waktu kerja, kebebasan berserikat);
- Peraturan fundamental ILO, khususnya konvensi buruh anak, kerja paksa, kerja wajib, menghormati kebebasan berserikat dan hak berunding, dan non-diskriminasi;
- Martabat manusia melalui kondisi kerja wajar (dapat diterima);
- Peraturan keamanan, keselamatan dan kesehatan, untuk membatasi dampak kegiatan pada keselamatan dan keamanan personel, dan komunitas yang berada di dekat instalasi;
- Peraturan keselamatan yang berlaku di tempat Michelin di mana mereka bekerja.
Upaya ini, yang diambil oleh Grup Michelin, untuk bertindak secara bertanggung jawab dan etis mengenai karyawan, mitra dan masyarakat setempat, harus dipahami dan dihormati oleh Anda semua. Kewaspadaan dan keterlibatan untuk setiap orang sangat penting agar pendekatan ini abadi. [2]
Michelin berkomitmen meminta pemasok dan subkontraktornya berkomitmen menghormati OECD (Organisation For Economic Co-operation and Development) atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Salah satu standar OECD yang harus dipatuhi oleh perusahaan dalam bidang ketenagakerjaan dan perburuhan adalah:
“Memperhatikan kegiatan operasional perusahaan agar selalu mematuhi prinsip pemberian kesempatan dan perlakuan yang setara dalam ketenagakerjaan, serta dalam hubungan ketenagakerjaan dan jabatan tidak melakukan diskriminasi terhadap buruh atas dasar: ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, keturunan, status sosial, atau status lainnya. Pengecualian dari ketentuan ini adalah apabila: seleksi terhadap karakteristik buruh telah diatur dalam kebijakan pemerintah yang secara khusus ingin mempromosikan kesetaraan yang lebih baik atau penyediaan kesempatan kerja; atau apabila ada persyaratan-persyaratan yang tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan tertentu.” [3]
Praktik penggunaan outsourcing yang dilakukan oleh PT. SHI di bidang produksi bersifat tetap dan bukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bersifat penunjang, seperti jasa kebersihan, kurir atau pengiriman, penyediaan makanan, jasa keamanan dan pertambangan. Tidak ada alasan bagi pengusa PT. SHI untuk menggunakan buruh outsourcing.
Pinsip pemberian kesempatan dan perlakuan yang setara dalam ketenagakerjaan dalam OECED, patut dianggap telah dilanggar oleh PT. SHI selaku pemasok Michelin.
Isi dari OECD lainnya, adalah “Ketika Perusahaan Multinasional beroperasi di negara berkembang, dan tidak dapat ditemukan perusahaan yang sebanding, Perusahaan harus memberikan kemungkinan terbaik atas: upah, tunjangan dan kondisi kerja, sejalan dengan kerangka kebijakan pemerintah. Hal ini harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi perusahaan, tetapi setidaknya harus dapat memenuhi kebutuhan dasar yang memadai bagi buruh dan keluarganya.”
Jika mengacu pada “memberikan kemungkinan terbaik…”, maka dengan adanya Anjuran, maka kemungkinan terbaik bagi buruh adalah perusahaan menjalankan Anjuran mempekerjakan buruh sebagai karyawan tetap dan memulihkan hak-hak buruh yang kini dikenai PHK.
Itulah mengapa buruh telah mengadukan PT. SHI dan melakukan aksi untuk menagih kode etik Michelin. Aksi pertama dilakukan di depan kantor PT. Michelin Indonesia di Pondok Indah Office Tower, Jl. Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan, pada 19 Juli 2020. Aksi berikutnya dilakukan kembali pada 11 Agustus 2020 di lokasi yang sama. Kemudian buruh juga melakukan aksi pada 30 Agustus 2020.
Seorang buruh bagian penyimpanan (Storage), sebut saja bernama AN, menjelaskan di bagian kerjanya terdapat 12 pekerja dengan hanya dua orang yang berstatus sebagai karyawan tetap, “ada 12 orang satu bagian…yang kartap (karyawan tetap) hanya dua orang, termasuk leader. Saya sendiri kontrak langsung dengan PT, ada yang lain outsourcing dari PT Nindy.”
Memperkuat pengakuan rekannya, AR dari bagian Assembly, menyebutkan di bagian kerjanya, posisi leader berstatus sebagai karyawan tetap, “Leader dan Foreman statusnya kartap. Operator tidak banyak yang menjadi kartap,” tuturnya, yang juga menyebut jumlah pekerja di PT. SHI sebanyak 259 orang.
Penegakan kode etik bukanlah karena buruh menginginkan Michelin memutuskan pesanan (order), tetapi Michelin harus memastikan produknya dihasilkan sesuai dengan standar hak asasi manusia dalam berbisnis. Kode etik Michelin adalah bentuk dari pengakuan terhadap standar hak asasi manusia. Implementasi dari kode etik ini adalah memastikan buruh PT. SHI dijadikan sebagai karyawan tetap. Memutuskan order adalah berarti melepaskan tanggung jawab belaka.
Sengketa yang diajukan oleh buruh ini seharusnya dipandang sebagai sarana kontrol yang membantu perusahaan untuk memastikan produknya memang mengikuti panduan hak asasi manusia dalam berbisnis. Jika tidak siap dikontrol, artinya kode etik tersebut hanyalah lip service belaka untuk mengelabui para pemangku kepentingan dan publik.
***
Referensi:
[1] Bisnis.com. (2019, 06 Maret). Michelin Resmi Beli Saham Multistrada Arah Sarana (MASA). Diakses 27 Agustus 2020 dari https://market.bisnis.com/read/20190306/192/896860/michelin-resmi-beli-saham-multistrada-arah-sarana-masa;
[2] Michelin. (2020). Michelin Code of Conduct. Diakses 27 Agustus 2020 dari https://www.michelin.com/en/documents/michelin-code-of-ethics-2/
[3] Organisation for Economic Co-Operation and Development. Pedoman OECD bagi Perusahaan Multinasional. Diakses 27 Agustus 2020 dari https://industriallindah.files.wordpress.com/2012/10/oecd-versi-indonesia-11-okt12-fa-cetak.pdf