Solidaritas.net, Jakarta – Seratusan ribu netizen mendukung petisi online ‘Membatalkan kebijakan baru pencairan dana JHT minimal 10 tahun’ di situs Change.org dengan ikut menandatanganinya. Petisi online itu sendiri dibuat untuk menyampaikan penolakan terhadap aturan baru soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 2015, dimana pesertanya, yakni kaum buruh baru bisa mencairkan dana itu sebesar 10% setelah minimal 10 tahun keanggotaan.

Terkait protes melalui petisi online tersebut, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri pun menyampaikan tanggapannya pada Jumat (3/7/2015). Dia pun menjelaskan panjang lebar soal peraturan baru yang banyak diprotes kaum buruh, termasuk melalui petisi online yang digagas seorang buruh di Yogyakarta bernama Gilang Mahardhika itu, Rabu (1/7/2015).
“JHT (jaminan hari tua) itu fungsinya adalah perlindungan untuk pekerja saat mereka tidak lagi produktif, baik karena cacat tetap, meninggal dunia maupun memasuki usia tua. Dana JHT itu (secara konsep kebijakan) nanti diterimakan kepada para peserta secara gelondongan saat mereka tidak lagi produktif. Sehingga masa tua peserta terlindungi dengan skema perlindungan JHT itu,” tulis Hanif, dikutip Solidaritas.net, Sabtu (4/7/2015).
Dijelaskannya, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah dipaparkan bahwa dana JHT dapat diambil sebagian setelah minimal keanggotaan 10 tahun. Lalu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua, pemerintah lebih menegaskan bahwa dana itu bisa diambil sebesar 30% untuk biaya perumahan atau 10% untuk biaya lainnya, dengan ketentuan waktu yang sama.
Hanif juga menerangkan, aturan itu memang berbeda dengan yang sebelumnya tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek yang dijabarkan melalui PP Nomor 1 Tahun 2007, yang sudah tak berlaku lagi. Dalam peraturan itu, buruh juga bisa mengambil dana JHT jika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), setelah masa keanggotaan minimal 5 tahun dan menunggu satu bulan. Menurutnya, dalam UU SJSN sendiri tak diatur soal kondisi jika buruh dikenai PHK. Selain itu, JHT ditujukan sebagai perlindungan hari tua.
“Kalau peserta di-PHK lalu dana JHT bisa dicairkan semua (sebelum memenuhi syarat pencairan) hal itu selain bertentangan dengan UU SJSN, juga keluar dari spirit perlindungan masa tua. Kalau masalahnya PHK kan sudah ada skema pesangon sebagai instrumen perlindungan. JHT selama ini dikesankan seolah-olah seperti tabungan biasa. Itu yang dipahami peserta selama berlakunya Jamsostek dulu. Begitu dikembalikan ke dalam spirit perlindungan hari tua sebagaimana dalam UU SJSN, maka timbullah kerisauan, walaupun dana JHT tidak akan hilang,” tambah Hanif dalam tanggapannya pada petisi online tersebut.
Penjelasan Hanif itu pun langsung mendapat komentar dari para pendukung petisi online tersebut. Meski secara mendasar, mereka setuju dengan konsep JHT yang dipaparkan oleh Hanif, namun teknisnya yang tiba-tiba berubah dalam aturan baru tetap ditolak oleh buruh.
“Kita dipaksakan utk ikut jamsostek dengan perjanjian awal yang bukan seperti itu, tidak bisa merubah peraturan secara 1 pihak, kalau mau merubah harus dengan persetujuan nasabah/investor yaitu para pekerja sebagai pemilik dana. Berlakukan UU baru untuk semua pegawai baru gabung terhitung 1 Juli 2015, itu baru adil,” tulis Budi Yuliono mengomentari.
Kabar gembiranya, pada Jumat (3/7/2015), Presiden Jokowi berjanji akan segera merevisi aturan tersebut. Dia memanggil dan memerintahkan Menaker Hanif Dhakiri dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya untuk mengubah aturan tersebut, dimana kondisi jika buruh di-PHK maka bisa mengambil dana JHT setelah menunggu satu bulan.