Jakarta – Pada 5 Desember 2016, organisasi pembela hak-hak pengungsi, SUAKA menyelenggarakan peluncuran hasil penelitian yang berjudul “Hidup yang Terabaikan: Laporan Penelitian Nasib Pengungsi Rohingya di Indonesia” di Hotel Gren Alia Prapatan, Senen, Jakarta Pusat. Indonesia menampung 13.707 pengungsi yang tersebar di 16 kota di Indonesia. 959 orang di antaranya adalah pengungsi Rohingya yang ditempatkan di Aceh, Medan dan Makassar.
Foto ilustrasi. Haeferl / CC-BY-SA-3.0 |
Dalam laporannya, SUAKA mengungkapkan kesulitan pengungsi di Indonesia mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini disebabkan karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 sehingga Indonesia tidak berkewajiban mencarikan pekerjaan bagi para pengungsi. Meski UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian memberikan sejumlah keistimewaan untuk mereka yang menyatakan diri sebagai pencari suaka, namun karena tak berdokumen lengkap, mereka tak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang menghasilkan upah.
Para pengungsi yang ditemplatkan di shelter, detensi migrasi maupun community housing mendapatkan bantuan bulanan dari International Organization for Migration (IOM) rata-rata sebesar Rp1.250.000 per bulan untuk orang dewasa dan Rp500.000 per bulan untuk anak-anak di bawah usia 18 tahun. Tunjangan ini diberikan jika mereka tidak disediakan makanan sehari-hari. IOM juga berupaya memberikan paket bantuan yang berisi dua mangkok mi instan, roti, makanan kecil, perlengkapan mandi dan paket khusus untuk kebutuhan ibu hamil yang diberikan seminggu sekali seperti dalam kasus pengungsi Rohingya di Aceh.
Situasi ini menghasilkan stigma di mata masyarakat setempat. Para pengungsi dinilai hanya bisa “makan tidur” dengan mendapatkan gaji.
Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, para pengungsi ada juga yang berusaha mencari pekerjaan. SUAKA menemukan ada pengungsi yang bekerja di salon di Bogor, menjadi gigolo di Batam dan pekerja anak. Seorang pengungsi anak tanpa pendamping berinisial R berusaha mencari uang agar dapat berkomunikasi dengan keluarganya di Myanmar. Anak-anak pengungsi ada juga yang mengikuti dan membantu para nelayan mencari ikan. Mereka mendapat upah yang dibelikan pulsa, pakaian maupun berjalan-jalan ke kota untuk menghilangkan kebosanan.
Di Aceh, Yayasan Geutanyao (YG) berusaha memfasilitasi pengungsi untuk bercocok tanam, magang di bengkel dan beternak bebek. Tidak semua pengungsi tertarik melakukannya. Seorang Ketua RT di Makassar berinisiatif meminjamkan tanah kosong miliknya untuk ditanami oleh pengungsi. Ia tidak meminta sewa, namun para pengungsi memberikan sebagian hasil kebun khas Myanmar kepada Ketua RT tersebut. Ada juga inisiatif dari pengungsi berjualan kebutuhan dapur dan jajanan di shelter.
Namun, upaya-upaya mencarikan pekerjaan bagi pengungsi hanyalah merupakan inisiatif-inisiatif organisasi lokal dan individu yang memiliki banyak keterbatasan. Langkah solutif yang lebih strategis sulit dilaksanakan selama pemerintah tidak meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi atau minimal sesuai dengan rekomendasi SUAKA, pemerintah perlu membuat kebijakan operasional dalam hal penanganan pengungsi.
Pekerjaan adalah salah satu hak ekonomi dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang demi kelangsungan hidup dan martabatnya. UUD 1945 menjamin “pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2). Mengusahakan pekerjaan bagi para pengungsi merupakan langkah yang lebih solutif ketimbang memberikan ransum bulanan sekaligus dapat berkontribusi kepada pembangunan masyarakat.
Situasi politik internasional yang penuh gejolak saat ini menghasilkan krisis pengungsi yang mencapai 65 juta orang di seluruh dunia, data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia tak mungkin “menutup mata” terhadap derasnya arus pengungsi, terlebih lagi para pengungsi ini kebanyakan berasal dari negeri-negeri mayoritas Muslim.
Meskipun begitu, menampung pengungsi bukan perkara mudah, apalagi di negeri yang penduduknya berpendapatan rendah seperti Indonesia. Lapangan pekerjaan yang sempit sehingga banyak tenaga kerja kita yang mencari pekerjaan di luar negeri, masih begitu terasa sangsi apakah warga Indonesia mampu menerima keberadaan pengungsi. Terlebih lagi jika pengungsi tersebut memiliki latar belakang yang berbeda. Katakanlah memiliki etnis, ras dan bahkan agama yang berbeda, masihkah orang Indonesia mau berbagi dengan mereka?
Menampung pengungsi sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Pada masa perang Vietnam, Indonesia pernah menampung sekitar 250 ribu pengungsi dari Vietnam di Pulau Galang dari tahun 1979 sampai 1996.