Solidaritas.net – Secara hukum, pengusaha tidak diperkenankan membayar upah di bawah ketentuan upah minimum. Pelanggaran terhadap hal ini tergolong sebagai tindak pidana kejahatan. Tapi, pemerintah juga menyediakan opsi penangguhan upah bagi pengusaha dengan tiga syarat.
Pertama, syarat utama adalah adanya kesepakatan dengan serikat pekerja yang beranggotakan lebih dari 50 % pekerja. Jika di pabrik tersebut terdapat lebih dari satu serikat pekerja dan tidak ada yang mencapai jumlah keanggotaan 50 %, maka serikat pekerja boleh berkoalisi. Jika tidak ada serikat pekerja, maka buruh dapat diberikan mandat oleh mayoritas buruh di pabrik tersebut.
Kedua, perusahaan mengalami kerugian selama dua tahun secara terus menerus, dan ketiga, adanya audit dari akuntan publik untuk membuktikan hal itu. Tata cara untuk melakukan penangguhan tersebut diatur secara khusus melalui Keputusan Menteri, yaitu Kepmenakertrans no. KEP.231/MEN/2003. (Baca: Apa Saja Syarat Penangguhan Upah? Buruh Harus Waspada!)
Syarat-syarat ini bukan saja mudah dipenuhi oleh pengusaha yang sebagai pemilik modal, tapi juga mudah dimanipulasi. Ketimbang negara turut campur dalam memeriksa kondisi perusahaan secara transparan, negara justru menjadikan penangguhan upah sebagai objek yang dapat diperjanjikan antara pengusaha dan buruh. Pada saat diperjanjikan inilah, manipulasi-manipulasi tersebut bermain.
Ada banyak kasus di mana pimpinan-pimpinan serikat pekerja yang justru menerima dengan mudah kesepakatan penangguhan upah dan akuntan publik menyediakan laporan keuangan sesuai dengan pesanan pengusaha. Manipulasi pengusaha ini dapat diatasi dengan transparansi keuangan perusahaan sehingga buruh dapat menganalisanya sendiri. Transparansi ini mustahil datang tanpa dituntut, olehnya itu, memerlukan serikat pekerja yang kuat.
Apa itu serikat pekerja yang kuat? Bukan saja serikat pekerja yang beranggotakan sebanyak-banyaknya buruh, juga serikat pekerja yang memiliki kecakapan, kejujuran, kepemimpinan dan demokrasi yang berjalan, serta berpandangan kelas.
Kecakapan dalam mengelola pengorganisiran anggota dan massa buruh untuk mengumpulkan kekuatan dan membangun argumentasi saat berhadapan dengan pengusaha. Kejujuran dan transparansi kepada massa hanya mungkin jika demokrasi di internal untuk memperkuat kepemimpinan Mempertentangkan demokrasi (suara dari bawah) dengan kepemimpinan (komando dari atas) adalah lelucon bodoh.
Dewasa ini, banyak buruh mengagung-agungkan satu-satunya sumber kekuatan serikat dan gerakan buruh adalah komando dari atas yang dianggap “efisien” karena tanpa perdebatan. Tapi justru menghancurkan kejujuran karena kejujuran pengurus sebenarnya memerlukan kontrol dari massa yang terdidik. “Manusia adalah tempatnya salah,” demikian ungkapan terkenal, maka dari itu membutuhkan kontrol agar semakin sempurna.
Saat buruh dilarang berdebat, sebenarnya buruh sedang dilarang untuk berpikir dan belajar sebanyak-banyaknya. Penelitian membuktikan perdebatan membuat orang berpikir dan kecerdasan meningkat. Tentunya tidak sembarang argumentasi, tapi yang ilmiah, bahkan filosofis.
Kontrol terhadap pengurus hanya mungkin jika ada demokrasi dan pendidikan. Demokrasi mewadahi perbedaan dan masukan; pendidikan mempertinggi kualitas buruh. Dalam hal penangguhan upah, penting sekali bagi buruh untuk memiliki kemampuan membaca dan menganalisa buku keuangan perusahaan.