Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi saat ini ada sekitar 1,7 juta anak di Indonesia yang menjadi pekerja di bawah umur. Bahkan sebanyak 400.000 anak harus bekerja di tempat yang buruk dan berbahaya. Mereka terjebak dalam perbudakan, pelacuran, pornografi dan perjudian, pelibatan pada narkoba.
Seorang anak bekerja menjadi montir mobil (Sumber foto : Pixabay.com) |
Data berbeda disajikan organisasi buruh internasional (ILO). ILO menyebutkan hingga akhir tahun 2015 jumlah pekerja anak mencapai 2,3 juta anak. Data ILO yang disampaikan pada Hari Dunia Menentang Pekerja Anak 12 Juni 2016, saat ini sektor yang paling banyak memperkerjakan anak berusia 5-17 tahun adalah pertanian (59 persen), diikuti jasa (32,2 persen) dan industri (7 persen).
Di Indonesia keberadaan tenaga kerja, atau pekerja anak atau disebut juga dengan buruh anak terjadi di daerah pedesaan dan perkotaan.
Definisi anak menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 adalah penduduk yang berumur di bawah 18 tahun. Hal ini dipertegas di dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003 Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dan dalam ketentuan undang-undang tersebut, anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. Berarti 18 tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja.
Dari laman hukumonline.com disebutkan pada prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi dan kepentingan tertentu anak diperbolehkan bekerja, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tingginya jumlah ini disebabkan faktor kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2016 mencapai 28,01 juta orang. Angka ini sekitar 10,86 persen dari jumlah penduduk nasional.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), menyatakan jumlah pekerja anak terus bertambah tiap tahun, kebanyakan pekerja tersebut lahir dari kondisi ekonomi keluarga yang miskin. Dari data yang dimiliki Komnas PA jumlahnya pekerja anak naik 30-80 persen setiap tahun, bertambah seiring jumlah anak putus sekolah dan kekerasan terhadap anak yang terus meningkat. (Sumber : Tempo, 12 Juni 2008).
Di keluarga miskin, anak-anak dituntut bekerja untuk meningkatkan pendapatan keluarga, dengan alasan membantu keluarga. Sialnya, dalam keluarga miskin orang tua akan merasa lebih senang jika anaknya bekerja di luar rumah dengan anggapan akan mendapatkan gaji atau upah sendiri.
Jika angka itu tidak terus ditekan, akan susah untuk mengurangi jumlah anak-anak yang dipaksa untuk bekerja. Dalam keluarga terdapat pandangan, anak harus membantu orang dan keluarganya, mulai dari menjaga adik, hingga membantu orang tua melakukan proses produksi. Misalnya membantu berjualan, hingga mengangkat barang dagangan.
Ironisnya lagi, hasil Survei Pekerja Anak 2009 juga memperlihatkan bahwa 65,5 persen pekerja anak merupakan pekerja keluarga tidak dibayar (unpaid family worker). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, sebagian besar pekerja anak merupakan “korban” eksploitasi keluarga. Kedua, keberhasilan pemerintah dalam menekan jumlah pekerja anak atau menghentikan eksploitasi terhadap anak sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi kepala keluarga. Selama mereka terkungkung dalam cara pandang yang keliru, bahwa anak merupakan faktor produksi tenaga kerja, eksploitasi terhadap anak bakal terus berlanjut.
Anak yang bekerja atau dipaksa bekerja tidak dapat menikmati hak-hak dasar atas pendidikan, keselamatan fisik, perlindungan, bermain, dan rekreasi. Kebanyakan anak-anak yang bekerja masih sekolah, namun waktu yang dihabiskan di dalam kelas jauh lebih sedikit dibandingkan anak-anak yang tidak bekerja.
Program Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja telah menetapkan peta jalan (road map) program penarikan pekerja anak untuk mencapai target Indonesia Bebas Pekerja Anak tahun 2022.
Untuk mewujudkan Indonesia bebas pekerja anak tahun 2022, Kemnaker bekerja sama dengan lembaga dan kementerian terkait yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI dan stakeholder lainnya.
Program itu diadakan sekaligus untuk mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Sasaran kegiatan itu diarahkan utamanya untuk anak bekerja dan putus sekolah yang berasal Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan berusia 7- 15 tahun.
Dalam program ini para pekerja anak bakal ditarik dari tempat mereka bekerja dan ditempatkan sementara di rumah singgah (shelter) untuk mendapatkan pendampingan khusus dan masa pembinaan, sebelum akhirnya bersekolah kembali.
Solusi Bagi Pekerja Anak
Pada tahun 2015 ditargetkan penarikan sebanyak 16.000 pekerja anak untuk kembali belajar di sekolah. Selama ini Kementerian Ketenagakerjaan telah melakukan penarikan pekerja anak melalui program PPA-PKH dari tahun 2008 sampai dengan 2014 sebanyak 48.055 orang anak.
Jika program pemerintah lancar berarti dibutuhkan 10 tahun lebih untuk mengentaskan pekerja anak. Tentunya ini langkah yang berat. Di sini bukan pemerintah saja yang harus aktif untuk menekan angka pekerja anak.
Pemerintah sangat membutuhkan bantuan pihak lain semisal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mengatasi pekerja anak. Pemerintah akan sulit menjalankan berbagai program upaya menekan angka pekerja anak tanpa bantuan LSM. Bantuan pihak ketiga itu diperlukan untuk meyakinkan orang tua agar membujuk anak untuk berhenti bekerja dan kembali ke pendidikan.
Yang tak kalah penting peningkatan kualitas pendidikan sejak usia anak-anak menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah itu. Pendidikan dasar sembilan tahun harus merata, dan kalau perlu ditingkatkan menjadi 12 tahun bagi seluruh anak di Indonesia. Jika itu bisa diwujudkan itu menjadi langkah penting dalam menghapuskan pekerja anak.
Peran serta keluarga juga diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini. Karena dari sinilah munculnya pekerja-pekerja anak. Tak luput juga program pengentasan kemiskinan juga harus terus digenjot untuk menekan angka kemiskinan yang menjadi salah satu pemicu kasus pekerja anak.