Solidaritas.net – Kamis pagi (4/12/2014), jam 7 WIB, Solidaritas.net menerima sebuah pesan di Blackberry Messanger (BBM) dari buruh yang mengaku anggota KSPSI AGN.
“Assalamu alaikum. Info: Selasa malam Rabu tanggal 2 Desember 2014 telah dilaksanakan rapat yang dihadiri 3 konfederasi besar KSPSI, KSPI, KSBSI dan puluhan federasi serta serikat pekerja – serikat pekerja yang menghasilkan kesepakatan unjuk rasa nasional 10 & 11 Desember 2014 sebagai bentuk pemanasan sebelum mogok nasional. Surat instruksi mognasnya diubah menjadi surat instruksi unrasnas.”
“Tanggal 10 & 11 dari Monas menjadi Unrasmas, jadi bagaimana kita menyikapinya?”
Seperti biasa, pesan di BBM itu bernada galau. Kegalauan semacam ini sudah kerap diungkapkan oleh buruh dalam berbagai kesempatan tanpa daya meratapi kebijakan elite-elitenya.
Sebenarnya, jika diingat-ingat lagi, bukan kali ini mogok nasional diganti menjadi unjuk rasa nasional. Kalau ingatan Anda masih tajam ke setahun yang lalu, mogok nasional juga diganti menjadi unjuk rasa nasional secara sepihak oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Kenapa secara sepihak? Karena saat itu KSPI yang tergabung dalam Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) memutuskan hal itu sendiri tanpa nama KNGB lagi.
Mogok nasional jilid 2 yang sebelumnya digadang-gadang dilaksanakan selama lima hari, diubah menjadi hanya dua hari, yakni tanggal 31 Oktober dan 1 November 2013. Setelah direpresi oleh preman dan aparat di mana sedikitnya 17 buruh mengalami luka berat pada 31 Oktober 2013. KSPI kemudian membatalkan mogok tanggal 1 November 2013 dan menggantinya dengan unjuk rasa nasional ke Jakarta. Namun, tidak semua massa KSPI/FSPMI bersedia mengikuti instruksi tersebut, sebagian malah menutup kawasan industri EJIP, Cikarang, hingga jam 6 sore. (Baca juga: Aneh, Mogok Nasional Diganti Menjadi Unjuk Rasa Nasional)
Jadi, mogok nasional diganti menjadi unjuk rasa nasional sebenarnya bukan kata baru dari elite serikat buruh.
Yang berbeda hari ini adalah, pertama, elite serikat buruh tidak berani sesumbar mengklaim suatu gerakan sebagai pemogokan, karena kita sudah menunjukkan syarat-syarat pemogokan yang sebenarnya. Apa itu? Yakni, STOP PRODUKSI dan TIDAK GANTI HARI. Ironis, jika buruh ganti hari pada minggu ini, maka buruh berarti harus menambah 8 jam kerja di minggu berikutnya. Buruh sudah tahu apa itu artinya mogok yang sebenarnya, sehingga hanya akan jadi cibiran kaum buruh jika ternyata suatu gerakan unjuk rasa diklaim dan dikampanyekan sebagai mogok nasional oleh elite serikat buruh. (Baca juga: Mogok Dalam Arti Sebenarnya)
Kedua, saat ini, KSPI tidak lagi melakukannya secara sepihak tanpa malu-malu, tapi dengan “embel-embel” hasil rapat bersama. Kebersamaan yang terpaksa harus mereka kembangkan selama tak ingin pecah kongsi seperti kasus MPBI tahun 2013 dan KNGB/Rumah Rakyat saat jelang Pilpres 2014 akibat dari KSPI yang sering mengambil kebijakan sepihak. Juga tak melakukan pembatalan mogok nasional, tapi penundaan.
Sikap “hati-hati” dan manuver baru ini tentu saja bukan turun dari langit atau kehendak positif para elite-elite ini sendiri, tapi ini berkat kritikan dan (bahkan) cibiran dari massa buruh itu sendiri. Kaum buruh sudah tahu pola permainan elite-elite mereka; sudah paham pabrik-pabrik kecil yang berhenti produksi, sementara pabrik-pabrik besar yang dihuni oleh elite-elite masih tetap kerja saat mogok nasional, dan; sudah paham arah politik elite-elite mereka. Meskipun, banyak buruh yang masih takut, diam-diam, menunggu, karena terpaksa untuk mempertahankan pekerjaannya sebagai buruh di pabrik, terutama bagi para buruh tetap (kartap).
Huh, jadi berhentilah mengatakan kritikan (bahkan cibiran) terhadap sesuatu hal yang salah, tak ada gunanya. Kaum buruh harus mengasah otak dan pasang mata baik-baik, jangan ikuti jalan yang salah. Akan lebih banyak lagi akrobat dari elite-elite serikat buruh ini, termasuk kemampuan (manuver) mereka dalam mencari posisi tawar (bargaining) dan menitip nasib ke elite-elite politik di atasnya.