Solidaritas.net – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rapat perdananya memutuskan untuk melakukan moratorium kurikulum 2013 dan kembali ke kurikulum sebelumnya, yakni kurikulum 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Alasannya, pemerintah belum sanggup memenuhi infrastruktur (distribusi buku, alat bantu pengajaran dan kompetisi guru) yang diperlukan. Itu artinya, pemerintah melakukan moratorium ini hanya karena alasan ketidaksanggupan pelaksanaan, bukan pada substansi (akar) masalahnya. Kurikulum 2013 sempat dilaksanakan di sekolah-sekolah, di mana ada sekitar 200 ribu lebih sekolah pada tahun ajaran 2014-2015.
Sejak awal, penerapan kurikulum 2013 dilakukan tanpa evaluasi terlebih dahulu terhadap kurikulum sebelumnya. Proyek kurikulum 2013 terkesan hanya untuk dijadikan ladang “korup”. Misalnya, anggaran kurikulum 2013 yang berubah-ubah tanpa dasar, awalnya 648 milyar menjadi 1,4 trilyun lalu naik lagi hingga menembus angka 2,49 trilyun. Ironisnya, buku-buku kurikulum 2013 terang-terangan menjadi alat komersialisasi pendidikan. Salah satu buku SMP kurikulum 2013 terdapat soal yang menanyakan “sepatu apa yang digunakan siswa?” Jawabannya, merk sepatu “Nike”. Alangkah ironisnya, anak-anak kita dijejali dengan iklan-iklan produk.
Sejak tahun 2013, perlawanan menolak kurikulum 2013 gencar dilakukan oleh organisasi guru dan mahasiswa. Misalnya, pada Mei 2013, Front Mahasiswa Bersatu (MASSA) melakukan pendudukan di depan kantor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan selama satu minggu dengan isu “Wujudkan Revolusi Pendidikan”.
Akar Masalah Pendidikan Indonesia
Persoalan pendidikan di Indonesia sudah sedemikian pelik. Untuk mengurai kekusutan dunia pendidikan, kita perlu memeriksa dari berbagai macam sudut pandang.
Pertama, Pada masa Orde baru pertama kali di perkenalkan bentuk ujian sebagai syarat lulus siswa yang dikenal dengan istilahnya “Ebtanas”. Hal ini menjadi salah satu bentuk “penyeragaman” kompetensi siswa di Indonesia. Hingga saat ini, kita bisa lihat hasil dari upaya-upaya “penyeragaman” menghasilkan karakter anak bangsa yang rajin menghapal. Karena, pintar, cerdas dan hebat hanya didasari pada “nilai” di atas kertas belaka yang bisa didapatkan dengan cara menghapal dan kepatuhan. Di dunia kampus, Orba mengeluarkan kebijakan NKK/BKK sebagai upaya untuk mengebiri aktivitas politik mahasiswa. Seiring dengan pemberlakuan SKS (sistem kredit semester) yang menggiring mahasiswa mahasiswa tidak memiliki jiwa solidaritas terhadap kesengsaraan rakyat, tapi yang penting cepat lulus dengan IPK tinggi, patuh dan tidak kritis. Alhasil, jadilah angkatan muda yang cetek ilmu pengetahuan, individualis dan bermental korup.
Kedua, dalam dunia pendidikan kita masih ada deretan kebijakan seperti UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diubah menjadi Badan Hukum Milik Negara. UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) memang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2010, namun kembali disahkannya (diganti dengan) Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) pada tanggal 13 Juli 2012 oleh DPR-RI yang semakin mengizinkan komersialisasi pendidikan tinggi. Pelepasan tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi berdampak pada semakin rendahnya akses rakyat Indonesia terhadap pendidikan tinggi.
Ketiga, urat nadi dunia pendidikan kita bernafaskan sistem ekonomi-politik kapitalistik. Sehingga dalam perwujudannya adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Kampus-kampus menjadi lahan basah bagi bisnis korporasi nasional maupun multinasional sehingga semakin tinggi harga yang harus di bayar oleh rakyat. Selain mendapatkan untung dari mahalnya pendidikan, sekolah dan kampus juga sebagai mesin pencetak buruh-buruh yang taat pada dikte-dikte kapitalisme.
Tanpa menyelesaikan akar persoalan utama pendidikan, moratorium kurikulum 2013 hanyalah basa-basi pemerintah yang gemar mengubah wajah tanpa mengubah substansi. Karena pada dasarnya, tanpa mengubah sistem ekonomi-politik kapitalistik, maka otak-atik kebijakan pendidikan tidak akan banyak memperbaiki dunia pendidikan Indonesia.