Perusahaan perlu memperhatikan hak asasi dan perlindungan hukum pekerja terkait dengan mutasi kepada karyawannya. Pihak perusahaan juga harus memperhatikan kondisi pekerja yang akan dimutasi, termasuk kondisi keluarganya.
Ilustrasi pekerja memeriksa kontrak kerja (Sumber foto : www.pixabay.com) |
Persoalan itu muncul karena pada umumnya perusahaan mencantumkan ketentuan pekerja harus bersedia dimutasi biasanya dimuat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja disertai dengan mencantumkan sanksi apabila menolak mutasi.
Dari persoalan ini selintas bahwa para pekerja harus bersedia dimutasi sesuai dengan ketentuan perusahaan dimana saja dan kapan saja perusahaan inginkan.
Padahal mutasi seorang pekerja sudah diatur dalam undang-undang. Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003 pasal 32 diatur soal penempatan kerja karyawan.
Ayat satu disebutkan, penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
Kedua, penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
Kemudian ketiga, penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.
Jika mutasi tetap dilakukan dan pekerja merasa keberatan, upaya yang dapat dilakukan ialah melihat kembali ketentuan dalam peraturan perusahaan (PP) di tempat bekerja. Karena mutasi tanpa kesepakatan dapat diartikan perusahaan telah memerintahkan pekerja melaksanakan pekerjaan di luar perjanjian.
Pekerja yang tetap bertahan pada pendirianya, mereka mempunyai hak memohon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sesuai dengan pasal 169 ayat (1) Huruf e UU Ketenagakerjaan karena menyangkut perselisihan hak.
Adapun perselisihan dapat ditempuh dengan jalur mediasi antara pihak perusahaan dan pekerja, apabila tidak mencapai kesepakatan, dapat mengajukan atau mencatat perselisihan kepada pihak instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Jika tetap tidak mendapatkan kesepakatan, dapat mengajukan gugatan kepada pihak hubungan industrial.
Apabila perjanjian kerja dikualifikasikan sebagai menolak atau melanggar perintah kerja, bisa dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja. Hal yang dapat dilakukan ialah mengupayakan cara kekeluargaan, menyampaikan latar belakang keberatan ketika dimutasi, misalnya karena biaya transportasi yang besar atau persoalan lain.
Dan jika persoalanya adalah persoalan transportasi, dapat meminta dipenuhinya hak penambahan uang trasnportasi. Sudah menjadi kewajiban pemberi kerja dalam penempatan kerja untuk memberikan perlindungan yang mencakup keselamatan, kesejahteraan, dan kesehatan mental maupun fisik tenaga kerja.
Tulisan ini kurang tepat bila memperhatikan judulnya yaitu masalah mutasi kerja.
Penempatan kerja bukan soal keputusan pengusaha, melainkan soal wilayah keputusan pemerintah.
Dasar hukum yang digunakan juga kurang tepat.
Mohon maaf atas komentar saya bola kurang berkenan.
Salam solidaritas.