Solidaritas.net – Salah satu bentuk tindakan menghalangi kebebasan berserikat, yang dinyatakan pada bab Perlindungan Hak Berorganisasi, pasal 28 huruf a, dalam UU no. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, adalah melakukan mutasi. Pengertian dari mutasi sendiri adalah pemindahtugasan dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain.
Dalam berbagai diskusi di kalangan buruh, praktek mutasi memang sering ditemui dan digunakan oleh pengusaha untuk memberikan tekanan pada buruh. Praktek mutasi yang demikian tidak saja digunakan untuk menghalangi kebebasan berserikat, melainkan juga digunakan terhadap buruh yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perusahaan.
Biasanya praktek mutasi ini digunakan sebagai dalih untuk “memaksa” buruh mengundurkan diri, sehingga pengusaha tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pesangon. Pengertian “memaksa” disini bukan dilakukan secara terang-terangan, melainkan dengan menempatkan buruh dalam kondisi yang dapat “memaksanya” untuk mengundurkan diri.
Untuk menciptakan kondisi yang dimaksud, pengusaha dapat melakukan mutasi ke luar kota misalnya, atau menempatkan buruh di tempat kerja yang tidak ada lembur. Mengingat lembur masih menjadi solusi instan bagi kaum buruh untuk mengatasi persoalan upah murah. Atau paling tidak, jika buruh kemudian menolak mutasi, maka tersedia alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan menolak perintah kerja.
Dalam banyak kasus ketenagakerjaan, sering ditemui buruh yang di PHK akibat menolak mutasi. Dilansir dari Hukumonline, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) beberapa kali mengabulkan PHK dengan alasan menolak mutasi. Seperti pada kasus Bambang Prakoso yang di PHK oleh Bank Mega dan Bambang Wisudo yang di PHK oleh Kompas. Sehingga untuk mengaitkan mutasi dengan tindakan menghalangi kebebasan berserikat menjadi sangat sulit dibuktikan.
Hal ini dapat terjadi karena di dalam perjanjian kerja yang dibuat antara buruh dan pengusaha, selalu tercantum ketentuan yang menyatakan bahwa buruh yang bersangkutan bersedia untuk dipindahtugaskan ke bagian apapun sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Biasanya ketentuan ini juga tertuang dalam Peraturan Perusahaan, sehingga menolak mutasi sama artinya dengan mengingkari perjanjian kerja ataupun melanggar Peraturan Perusahaan.
Meski dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 32 ayat (1) dan (2),terkait mutasi atau penempatan kerja, ditentukan sebagai berikut:
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
Namun menolak isi perjanjian kerja yang demikian di awal hubungan kerja, pada dasarnya sangat sulit untuk dilakukan, mengingat nilai tawar buruh yang sangat rendah akibat tingginya angka pengangguran. Sehingga jalan terbaik untuk melawan praktek mutasi yang demikian adalah mengatur kembali tentang syarat dan ketentuan mutasi melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dan tentu saja agar dapat membuat PKB, maka buruh harus mengorganisir dirinya ke dalam sebuah serikat buruh.
Cara lain yang dapat ditempuh jika belum terdapat serikat buruh di dalam perusahaan adalah dengan melaporkan ke bidang pengawas ketenagakerjaan pada Dinas Tenaga Kerja. Tujuan dari pelaporan tersebut adalah untuk memperbaiki isi dari perjanjian kerja ataupun Peraturan Perusahaan yang berkaitan dengan syarat dan ketentuan mutasi. Meski terdapat hambatan cukup besar dalam menempuh cara ini, sebab utamanya adalah lemahnya fungsi dan peran pengawas ketenagakerjaan dalam penegakan hukum perburuhan di Indonesia.