Solidaritas.net, Majalengka – Adanya pembangunan kerap kali bersamaan dengan adanya penggusuran. Seperti halnya yang dialami petani di Kabupaten Majalengka , demi kelancaran pembangunan Tol Cikampek-Palimanan (Cikapali) lahan petani yang berada di sekitar tol tersebut harus digusur tanpa ganti rugi.
![tolak penggusuran](https://i0.wp.com/solidaritas.net/wp-content/uploads/2015/06/tolak-penggusuran-300x200.jpg?resize=300%2C200)
Sebelumnya, panitia pembebasan lahan memang telah menawarkan ganti rugi kepada petani namun sebagian petani menolak tawaran tersebut karena harga yang diberikan panitia untuk pembebasan lahan dinilai begitu murah. Seperti lahan dengan Akta Jual Beli (AJB) yang dihargai hanya sebesar Rp.18.000 per meter dan untuk lahan bersertifikat dihargai Rp.24.000 per meter.
Selama itu, tidak pernah ada proses saling tawar harga antara panitia pembebasan lahan dengan petani. Setiap kali warga dipanggil hanya untuk berkumpul dan dipaksa mengambil uang ganti rugi.
Warga dipaksa dan diancam akan rugi sendiri jika tidak mengambil uang tersebut sebab apapun kondisinya lahan warga akan tetap digusur. Warga juga diancam apabila tidak mengambil uang ganti rugi maka uang itu akan dititip di pengadilan.
Warga berada diambang kebingungan dan ketakutan, akhirnya uang ganti rugi itu diterima oleh sebagian warga. Sedangkan bagi warga lainnya yang menolak mengambil uang ganti rugi harus menerima kenyataan pahit.
Seperti yang dialami oleh seorang ibu yang enggan disebutkan namanya. Tanpa sepengetahuannya, pada Juni 2013 lalu lahannya digusur hingga ludes. Padahal saat itu padinya telah menguning dan akan segera dipanen.
Lahannya digilas begitu saja hingga rata dengan tanah, disaksikan oleh polisi, Satpol PP dan tentara, tanpa disaksikan oleh pemiliknya. Setelah mengetahuinya, ia menangis meratapi sawahnya, mata pencaharian satu-satunya telah ludes. Kini ia kehilangan lahan garapan satu-satunya.
Ketika dihubungi Solidaritas.net, ia menjelaskan dengan sedih. Ia menghitung-hitung dan berandai-andai jika sawahnya tidak digusur maka sampai saat ini ia sudah bisa menikmati hasil panen sebanyak lima kali.
“Andai sawahnya masih ada, pasti sudah 5 kali panen. Sampai sekarang saya gak dapat ganti rugi, saya nganggur gak tau mau kerja apa karena cuman itu kerjaan saya,” katanya.
Ibu itu juga memperjuangkan lahannya hingga ke Dinas terkait di Kabupaten Majalengka namun ia hanya mendapatkan jawaban bahwa nominal pembebasan lahan sudah ditentukan, dan harga yang sudah diberikan adalah harga paten.
Jawaban itu membuat ia terpukul. Kepada Solidaritas.net, ia mengatakan “apakah ada yang akan memperjuangkan tanah saya. Seluas 3.416 meter tanah milik saya beserta tanamannya telah ludes.”
Tidak hanya Ibu tersebut, 63 petani lainnya mengalami hal yang sama.
Selain mengakibatkan lahan milik petani tergusur, pembangunan tol sepanjang 116,75 kilometer yang akan diresmkan oleh Presiden Joko Widodo sebelum ramadhan ini juga mengakibatkan air irigasi pertanian terhambat.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pembangunan jalan tol termasuk ke dalam pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak bisa ditolak. Besaran ganti rugi ditentukan oleh tim penilai publik. Jika ada yang keberatan, maka diharuskan mengajukan gugatan ke pengadilan negeri setempat paling lambat 14 hari.
UU ini tidak berpihak kepada petani dan rakyat sebab memaksa petani menyerahkan tanahnya atas nama “kepentingan umum” sekalipun pengelola jalan tol tersebut adalah pihak swasta. Rakyat juga diharuskan untuk menempuh jalur pengadilan yang padahal akses rakyat terhadap hukum formil sangat lemah.