Wahyu*) | Solidaritas.net, Cikarang – Acara Pemutaran dan Diskusi Film Senyap (The Look of Silence), Rabu (10/12/2104), berjalan lancar dan mengesankan, terutama karena peserta yang hadir terdiri dari buruh, mahasiswa, aktivis, dan para pegiat seni. Terlebih, ada beberapa peserta yang mengikuti acara ini sepulang dari aksi.
Paper diskusi yang aku bagikan kepada seluruh peserta adalah salah satu artikel yang ditulis oleh Max Lane dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Danial Indrakusuma yang berjudul “Setelah film JAGAL: Indonesia, 1965: Merehabilitasi Korban, Merehabilitasi Revolusi”. Kukutip beberapa paragraf dari paper ini yang sangat menarik:
“Kiri tumbuh dari puluhan ribu anggota pada pertengahan tahun 1950-an menjadi 20 juta dalam 10 tahun kemudian. Hal itu bisa terwujud karena dukungan ideologis dari presiden, namun harus berhadapan dengan gangguan fisik dari angkatan darat dan kelompok-kelompok konservatif.”
“Namun rehabilitasi, keadilan yang sebenarnya tak akan terwujud tanpa juga merehabilitasi ideologi korban—dan, dalam konteks ini, kita harus ingat bahwa 20 juta korban kehilangan hak-haknya untuk mengungkapkan dan mengkampenyekan ideologi mereka.”
“Ideologi 20 juta orang yang aktif di kubu Kiri sebelum tahun 1965 dilarang, tabu, dan di-iblis-kan. Dan mempertahankan hal tersebut merupakan hal pokok bagi negara, agar tetap menjadi negara kontra-revolusioner”
“Pada tahun 1965, saat kekuatan tersebut melakukan pembunuhan massal, mereka juga harus mengandalkan pada pengerahan unsur-unsur lumpen-proletariat, begitu lemah dan tak memiliki apapun kelas elit tersebut secara budaya, politik, dan ideologis.”
“Beberapa mantan aktivis tersebut mungkin tak lagi yakin akan ideologi lamanya. Tapi beberapa masih yakin. Beberapa aktivisnya telah berusia sekita 80-an, masih bersemangat menyanyikan “NASAKOM Bersatu” dan “Internationale” serta lagu-lagu ideologis mereka. Itulah memang mereka; dalam beberapa hal, kepribadian mereka ditentukan oleh kesetiaan ideologisnya. Beberapanya mengalami pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Sebagian lainnya kehilangan mata-pencarian dan harta benda miliknya, bila memang masih ada. Sebagian besar kehilangan masa mudanya karena dipenjara atau bersembunyi. Namun, semuanya, jutaan dan jutaan dari mereka, karena pelarangan total dan peng-iblis-an ideologi mereka, disingkirkan dari keseluruhan sejarah, juga telah, selama 50 tahun, ditolak kepribadiannya. Mereka hanya bisa menjadi diri mereka sendiri secara pribadi, atau saat bersama kawan-kawannya. Menyedihkan dan membangkitkan amarah menyaksikan akhir dari semuanya. Pramodeya menyebut dirinya seorang bisu yang hanya bisa bernyanyi bagi dirinya: “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”—dan ia adalah seorang korban yang langka yang bisa memenangkan ruang publik. Nyanyian sunyi seorang bisu yang dipaksakan itulah yang harus diakhiri.”
(Baca selanjutnya di halaman 2)
Berikut rekaman diskusi pemutaran film Senyap (The Look of Silence) yang dipandu Danial Indrakusuma, aktivis dan pengajar ekonomi politik di Solidaritas.net:
Dari mana asalnya kekejaman itu?
Romo Mangun pernah bilang, kekejaman itu belajar dari Jepang. Tapi, Pram bilang, “ngga”, tapi sejak dari zaman feodalisme sudah kejam,Ingatan kita itu dihapus, dibikin amnesia. Lantas apa yang timbul di tahun 65 itu? Sentimen pembunuhan itu adalah agama, karena mereka ‘tidak bertuhan’, dituduh kejam karena menyileti Jenderal, memotongi kemaluannya. Oleh sebab itu mereka layak untuk dimatikan. Padahal setelah bocornya hasil visumternyata tidak terbukti, tuh, tuduhan-tuduhan konyol versi Orde Baru itu! Bahkan ada Jenderal yang Islam tapi setelah divisum ternyata belum disunat. Banyak varian-varian dari kekerasan itu sendiri, salah satunya seperti yang sudah aku sebutkan di awal yaitu dari golongan agama.Hanya dua kali terjadi golongan agama bisa kejam; satu, tahun 1920, di Kudus, Jawa Tengah, di mana haji-haji memenggal, menggorok kepala orang-orang Tionghoa karena persaingan perdagangan. Yang kedua orang-orang agama membunuh, memenggal, menyiksa orang-orang komunis. Kemudian, yang lucu, pada tahun 65 dan sesudahnya adalah kelompok-kelompok mahasiswa yang mencari karir, terutama yang di kota-kota besar, atau juga di daerah-daerah, kelompok mahasiswa golongan tengah dan kanan yang berideologi liberal, mereka ini bekerjasama dengan tentara karena secara politik kalah di kampus. Selanjutnya adalah kelompok militer, kenapa kelompok militer? Karena militer-militer yang membela rakyat kecil sudah dihabiskan oleh rasionalisasi Hatta, jadi yang ada itu adalah kelompok-kelompok militer bekas KNIL, bekas PETA, dan AMN, semuanya antek Amerika. Bahkan ada yang keluar dari KNIL masuk PETA, masuk TNI, lantas jadi Jenderal. Kelompok-kelompok tentara yang berasal dari rakyat dihapus dan disingkirkan. (Baca juga: Buruh Bisa Nonton Film Senyap di Sini!)
Kenapa situasi ini menyebabkan rakyat takut dan tidak paham?
Pertama, jelas karena pendidikan. Pada waktu kemerdekaan saja itu bisa dihitung jumlah sekolah, jutaan orang banding berapa sekolah.Jumlah sarjana, tidak lebih dari seratusan. Pada masa Soekarno, sekolah-sekolah itu masih sedikit dan kurikulumnya belum banyak mengalami perubahan. Karena kekuasaannya bukan kekuasaan kaum progresif. Misalnya, mahasiswa-mahasiswa zaman Soekarno banyak yang mengeluh ketinggalan ilmu, sehingga banyak yang disekolahkan ke luar negeri. Waktu itu ke negeri-negeri yang sosialis karena gratis. Rakyat yang terdidik itu mayoritas karena organisasi-organisai massa. Jadi, banyak orang yang tidak bersekolah tapi ikut organisasi-organisas massa. Apalagi yang sekolah, itu pasti ikut organisasi massa. (Baca juga: Begini Acara Pemutaran Film Senyap di Solidaritas.net Media Center)
Kedua, isi kurikulum yang tidak bisa menyerap sebagian besar dari dunia luar. Jadi, sebagian rakyat masih terbelakang, terutama di desa, karena industrialisasi belum ada, hancur pada masa zaman Jepang. Syarat untuk kemajuan, kan, harus ada industrialisasi dulu, syarat dari adanya keterbukaan itu harus ada industrialisasi komunikasi segala macam. Desa terisolir dari kemajuan, isinya adalah SD, SMP, dan SMA Negeri, Pesantren. Desa ditinggal. Kalau dulu modal masuk desa, karena ada modal perkebunan. Setelah modal Belanda hancur, maka sangat sedikit sekali modal masuk desa sehingga kemajuannya lambat. Perkembangan dari guru-gurunya juga, SGA (Sekolah Guru Atas) itu baru ada beberapa dan itu juga baru ada di Kabupaten/Kota, sehingga jumlah guru masih sedikit. Di Universitas, perkembangan semasa zaman orde baru itu, kepustakaannya bisa ketinggalan 10 sampai 50 tahun, misalnya dalam hal teori-teori, teori-teori Amerika Latin itu ketinggalan sampai 15 tahun di kampus-kampus. Sehingga,mahasiswanya belum banyak yang tahu definisi tentang HAM itu sendiri. HAM itu sudah masuk di Eropa pada abad 18 (sudah berkembang pada abad ke 18 sampai 19 dan terus berkembang), sedangkan di Indonesia, HAM itu bisa diibaratkan barang yang sangat mewah. Di film Senyap yang barusan kita tonton itu adalah pengejawantahan di masa Eropa pada abad ke kegelapan; orang menggorok leher, membuka perut, makan jantung, minum darah. Tapi yang paling sadis adalah pada waktu Perang Salib, dan di kita pada tahun 1965. Di Jawa Timur,contohnya, pada masa itu, ada orang komunis yang dibakar hidup-hidup terus dimatiin secara sadis selagi ia masih hidup. Bahkan sampai sekarang di kita masih terjadi kekerasan di mana-mana, salah satu contohnya adalah maling ketika ketangkap basah oleh masyarakat sekitar, masih seringkali dibakar hidup-hidup (main hakim sendiri). Atau komentar-komentar kelas bawah di media sosial yang penuh caci maki dan kata-kata kotor.
Idealisasi. Idealisasi mengatakan bahwa kita ini memiliki budaya ketimuran yang lemah lembut, sopan santun, segala macam.Tapi realitasnya lain! Ada semacam kematian gagasan, kematian keadilan, yaitu kematian ideologi keadilan. Kematian ideologi ini sangat berat. Keadilan dan demokrasi tidak bisa dilepaskan. Dan demokrasi ala reformasi yang sudah diperjuangkan oleh nyawa itu sekarang diambil alih oleh gerakan buruh, tapi perkembangan gagasan keadilan sosial, perkembangan gagasan memiliki partai buruh sendiri yang independen, dan perkembangan gagasan serikat buruh yang ingin mengendalikan pabrik, itu belum ada. Perkembangan metode pun, mogok misalnya, betul-betul mogok, belum bisa berhasil. Karena, kalau ini bisa bergerak membuka demokrasi lagi, membuka keadilan lagi, maka masalah 65, masalah masa lalu yang tidak demokratis akan diselesaikan dan kita bergerak menjadi bangsa yang demokratis, tidak barbar.Nyeseknya, tujuan dari pembunuhan massal ’65 itusebenarnya bukan untuk agama, tapi untuk modal datang, cuma agar modal berkuasa.
(Baca selanjutnya di halaman 3)
Mengapa dogma selalu dijadikan alat untuk melegalkan kekerasan?
Orang biasanya menyelidiki, apakah ajaran dogma itu sendiri mengajarkan kekerasan atau tidak. Namun aku melihatnya tidak seperti itu, aku melihatnya dari perkembangan tenaga produktif. Tenaga produktif itu manusia dan alat-alat produksinya dalam rangka mengolah alam, merespon alam untuk memperpanjang hidupnya. Proses inilah yang justru menghasilkan kekerasan. Karena, sebenarnya tenaga produktif itu hukumnya tidak mengajarkan kekerasan. Itulah kenapa aku sangat menyayangi ilmu yang diajarkan Marx, Sosialisme.
Karena,dia memberikan ajaran bahwa sebenarnya tenaga produktif atau alam ini hakikatnya itu tidak mengajarkan kekerasan, tidak mengajarkan keserakahan. Hukumnya harus adil, harus berlimpah, harus berkembang lebih baik. Sekali dia tidak adil, maka dia akan menimbulkan kekerasan. Misalnya, tenaga produktif manusia yang ingin bebas, ingin bahagia, oleh si pemilik budak dijadikan alat untuk memenuhi kepuasannya; menghasilkan barang, menghasilkan jasa untuk dirinya. Itu sudah menyalahi hukum manusia, hukum tenaga industri. Kemudian, akhirnya itu tidak bisa dipertahankan, karena dalam perbudakan ekonomi jatuh, lama kelamaan jatuh karena ekonomi perbudakan tidak efisien, budak banyak yang mati, banyak yang tidak terurus, maka pindahlah metodenya menjadi metode feodal. Metode feodal pun tetap tidak adil. Kenapa? Karena, sebagian besar hasil daripada sebagian manusia dan alam itu diambil-alih oleh pemilik tanah, sehingga masyarakat tidak bisa menikmati hasil kerjanya. Kalau orang tidak bisa menikmati hasil kerjanya itu bisa terjadi macam-macam; kemiskinan, kejahatan, pertengkaran, peperangan, dan segala macam. Sampai dengan masa sekarang, buruh bekerja tapi tidak menerima tidak sesuai dengan hasil kerjanya. Itu yang dinamakan surplus, dari hasil kerjanya yang didapatkan hanyalah upah, UMK, sundulan, bonus, family gathering, BPJS, dan sebagainya, lalu dicaplah LAYAK! Keuntungan lebihnya diambil oleh negara, koruptor, dan dijadikan keuntungan bagi pengusaha. Itu penyebab dari maraknya kemiskinan yang kemudian melahirkan kebodohan dan kekerasan.
Rekonsiliasi yang ideal itu seperti apa?
Pram pernah bilang bahwa rekonsiliasi yang ditawarkan oleh Goenawan Mohamad, dan lain-lain itu adalah rekonsiliasi sampah. Mereka selalu mengacu ke rekonsiliasi Afrika Selatan, namun dimanipulasi tidak seperti yang dilakukan di Afrika Selatan. Setelah pemilu Mandela terpilih menjadi presiden, lalu diadakanlah rekonsiliasi supaya tidak terjadi lagi pembunuhan (balas dendam).Rakyat bilang, oke, agar negara kita itu bukan negara bar-bar. Artinya, proses hukum tetap berjalan, supaya jangan gampang saja orang nanti setelah melakukan kejahatanHAM terus-menerus, lalu sekadar meminta maaf. semakin gencar lagi membodohi orang lain. Jadi, proses yang ideal itu adalah yang bersalah tetap dihadapkan ke pengadilan, kemudian dicek oleh pengadilan, datangkan saksi-saksi, dan prosedur-prosedur ilmiah lainnya dalam mengadili. Kalau itu semua sudah selesai, cocokkan apakah pengakuannya sudah benar atau belum, kalau sudah baru dihadapkan ke keluarga korban atau kepada korbannya, untuk ditanya apakah pelaku akan dimaafkan atau tidak, kemudian setelah itu naik ke Mahkamah Agung apakah pelaku mau ditahan atau tidak. Dan dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Max Lane ada penjelasanbahwa salah satu ukuran rekonsiliasi itu termasuk pemulihan ideologinya, karena itu hak korban.
Nah, tugas kita ini sekarang adalah demokratiskan dulu bangsa ini dengan membebaskan bangsa ini dari sampah zaman. Pertama, sisa-sisa Orde Baru yang sekarang wujudnya semakin konkrit diantaranya yaitu satu, Prabowo dan KMP. Kedua, kaum reformis gadungan seperti PKS, PAN, termasuk PDIP. Ketiga, militer, dan, keempat yaitu kaum-kaum milisia reaksioner.
***
Terima kasih kepada para panitia; Boyo, Farid, Budi, Danial Indrakusuma,Sherrin, Pelangi, Joyo, Wahyu Indra, Eko, dan semua yang terlibat di acara ini. (Kalian manusia-manusia yang indah!). Tabik.
*) Pemandu Kelompok Baca Bumi Manusia (KBBM) yang tinggal di Bekasi.