Oligarki di Dalam Tubuh Serikat Buruh

0

Solidaritas.net – Di masa pemerintahan rezim Orde Baru, pemerintah melakukan intervensi terhadap gerakan buruh dengan menyatukan seluruh serikat buruh ke dalam satu wadah. Dimulai dengan pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) tahun 1973 hingga kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pada masa ini gerakan buruh melalui serikat buruh dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah, sehingga SPSI sebagai wadah gerakan buruh justru menjadi alat mematikan gerakan buruh itu sendiri. Hingga dalam soal pemilihan kepengurusan, intervensi dilakukan, sehingga siapa yang menjadi pengurus, adalah mereka yang mendapat “restu” dari penguasa.

demokrasi serikat buruh
Demokrasi di dalam tubuh serikat buruh dibangun dari bawah (ilustrasi). Kredit: sloga.org.rs

Dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, pintu demokrasi mulai terbuka kembali dan berpengaruh besar pada hak kebebasan berserikat, sehingga membuat banyak serikat buruh baru terbentuk, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Tetapi hal ini tidak serta merta berpengaruh secara signifikan pada kemajuan demokrasi di dalam wadah serikat buruh itu sendiri. Politik oligarki yang menjadi ciri rezim Orde Baru, juga tumbuh subur dalam serikat-serikat buruh, bahkan hingga sekarang di era demokrasi.

Ada beberapa faktor yang mendorong tumbuhnya oligarki dalam serikat buruh, seperti didefinisikan dalam teori Michels, yaitu : ketidakseimbangan pengetahuan diantara pengurus dan anggota; pemusatan (sentralisasi) fasilitas dan kekuasaan; kekurangan waktu, tempat dan tenaga yang dialami anggota biasa; tingkat kontrol terhadap alat komunikasi dan ketidakseimbangan kemampuan komunikasi [1].

Di antara empat faktor diatas, maka persoalan sentralisasi merupakan faktor yang paling dominan menjadi penyebab tumbuhnya oligarki dalam serikat buruh. Meski demikian sentralisasi juga merupakan konsekuensi dari kebutuhan serikat buruh sebagai organisasi yang semakin besar, seperti kebutuhan stabilitas, finansial dan efisiensi administratif. Dengan terbangunnya sentralisasi dan birokrasi dalam tubuh serikat buruh, seringkali diiringi dengan semakin lebarnya jarak diantara pengurus dan anggota serikat buruh.

Sentralisasi kekuasaan juga menjadi salah satu faktor yang menghambat kemajuan serikat buruh di tingkat lokal, sebab di era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah dapat membuat kebijakan tertentu sesuai kondisi ekonomi politik di daerah tersebut, yang tentu juga berkaitan dengan kondisi perburuhan. Keputusan-keputusan yang mesti diambil serikat buruh di tingkat lokal untuk menyikapi kebijakan pemerintah daerah, harus dibicarakan dan ditentukan terlebih dahulu oleh pengurus serikat buruh di tingkat pusat. Sehingga tidak jarang keputusan yang diambil terlambat dalam merespon suatu momen maupun tidak tepat akibat kurangnya pemahaman terhadap kondisi daerah oleh pengurus di tingkat pusat.

Demikian pula dengan sentralisasi fasilitas, meskipun kadang kala disebabkan oleh keterbatasan dana, namun dapat mendorong tumbuhnya oligarki di tubuh serikat buruh. Pemusatan fasilitas akan membuat hanya pengurus, bahkan pengurus tertentu saja yang dapat menggunakan fasilitas tersebut, artinya tidak semua anggota memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan fasilitas yang dimiliki serikat buruh. Dalam bidang pendidikan, sentralisasi yang demikian juga menjadi penyebab ketimpangan pengetahuan diantara pengurus dan anggota semakin lebar.

Oleh karena sentralisasi dan birokrasi juga merupakan konsekuensi dari serikat buruh yang besar, maka dalam penerapannya, minimal mesti memperhatikan beberapa hal prinsipil agar demokrasi tetap terjaga, diantaranya : (1) partisipasi efektif : sebelum sebuah kebijakan dilaksanakan organisasi, seluruh anggota harus memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk menyampaikan pandangannya secara terbuka. (2) persamaan suara : setiap anggota memiliki kesempatan yang sama dalam proses pengambilan suara. (3) pemahaman yang cerah : dalam batas waktu yang rasional, setiap anggota harus memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin. (4) pengawasan agenda : setiap anggota harus memiliki kesempatan yang sama untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda. Berbagai kebijakan organisasi selalu terbuka untuk dapat diubah sesuai permintaan anggota [2];

Kecenderungan beroligarki ini harus dilawan di internal serikat buruh, karena pergerakan serikat buruh yang demikian tidak akan mampu menjadi cerminan dari kepentingan anggota, melainkan hanya menjadi cerminan kepentingan sekelompok elit buruh dalam serikat buruh saja. Maka demokrasi dalam serikat buruh-lah yang harus terus dimajukan, sehingga tujuan utama dari serikat buruh yaitu kesejahteraan anggota dan keluarganya (masyarakatnya) dapat dipenuhi, baik secara ekonomi maupun politik.

 

Referensi :

1. Greene, A., J, Hogan & M. Grieco, 2003, “Commentary E-collectivism and Distribute Discourse : New Opportunities for Trade Union Democracy”.
2. Dahl, Robert A. 2001, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
3. Michele Ford, Demokrasi Serikat Buruh : Sebuah Tinjauan Teoritis
4. Maria Dona, Serikat Buruh Demokratis Dalam Perubahan Situasi Perburuhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *