
“Investasi akan membuka jutaan lapangan pekerjaan baru dan akan berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Presiden RI ke-7 Bapak IR. Joko Widodo beberapa saat setelah resmi dilantik untuk kedua kalinya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.
Sekilas memang tak ada sama sekali yang salah atau menyimpang dari pernyataan beliau tersebut. Apalagi pada periode pertama, Pemerintah Jokowi sudah mengundang modal asing masuk ke dalam mayoritas proyek pembangunan strategis nasional ataupun dalam proses pembiayaan dan pengerjaan proyek infrastruktur. Juga pakem bahwa investasi menghasilkan lapangan pekerjaan telah menjadi narasi penguasa yang merasuki banyak orang.
Pasca kemunculan pandemi Covid-19, pada awal Januari 2020, sebuah wujud dari bencana ekologi, semua persoalan mulai terkuak satu per satu, yang berakhir menjadi kesimpulan kita berada dalam krisis ekologi dan ketidakmampuan negara dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat. Mayoritas rakyat, organisasi dan media terjebak dalam polarisasi politik praktis lima tahunan sekali. Pragmatisme politik yang menumpulkan daya nalar dan kritis terhadap negara.
Tidak bisa tidak perhatian umum kini berada pada isu yang teramat besar ugensinya untuk dibahas, yakni keselamatan ekologi yang sangat terancam oleh adanya investasi besar-besaran. Menuntut eksploitasi besar-besaran atas nama pembangunan, tanpa kontrol, yang bernafsu besar untuk mengakumulasi profit dengan mengorbankan lingkungan dan manusia di dalamnya.
Bencana ekologi seperti banjir bandang, kekeringan, kebakaran hutan, kabut asap, erosi dan longsor ini jelas hanya sedikit saja melibatkan peran Tuhan. Bukan faktor alam yang menjadi penyebab utama bencana belakangan ini, melainkan akibat ulah tangan serakah manusia dan kapitalisme global yang melakukan ekploitasi tanpa memperhitungkan potensi dan dampak bencana yang mengintai.
Kita tentu ingat betul bagaimana banjir bandang menerjang kabupaten Lebak di malam pergantian tahun 2019 ke tahun 2020 lalu. Hutan di bantaran sungainya telah dialihfungsikan menjadi lahan lahan tambang. Bencana kekeringan mengintai Jawa Tengah dan Indonesia bagian timur setiap tahun, karena proses penggundulan hutan dan pembalakan liar yang begitu masif demi memenuhi kebutuhan produksi korporasi. Bagaimana korporasi membakar hutan dengan dalih pembukaan lahan yang akhirnya menimbulkan kebakaran dan kabut asap yang begitu tebal menyelimuti Sumatera, Kalimantan, yang sampai ke Malaysia dan Singapura. Tak lupa erosi dan longsor yang kian sering terjadi di Kalimantan Timur akibat aktivitas tambang yang begitu besar dan dekat dengan pemukiman rakyat. Hingga barulah kemudian kita menyadari bahwa dampak dari investasi secara besar besaran ini tak semanis apa yang Presiden Jokowi katakan selama ini.
Tentu saja bencana ekologi ini sangat erat kaitannya dengan proses investasi yang dibuka kerannya dan diberikan karpet merah dalam satu dekade terakhir ketika masuk kedalam negara ini, bahkan sejak jaman Orba. Semakin masif investasi dan pengrusakan sumber daya alam, semakin terancam lingkungan hidup dan kehidupan manusia di dalamnya. Investor bisa dengan mudah membuka lahan investasi baru tanpa harus memikirkan dampak buruk terhadap lingkungan yang selama ini dianggap menghambat bagi para investor rakus ini. Misal, aturan wajib mengenai pemenuhan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai syarat utama pembukaan lahan investasi baru, di dalam RUU CIPTA KERJA (Omnibus Law) akan dihapuskan . Padahal kita semua sama-sama mengetahui bahwa dokumen AMDAL ini harus dipenuhi untuk meminimalisir kerusakan.
Dokumen AMDAL berisi tentang bagaimana investasi memberi dampak terhadap resiko kesehatan rakyat setempat, resiko bencana yang kapan saja bisa terjadi, resiko kerusakan ekologi yang bisa ditimbulkan. Dalam kondisi kita memiliki kebijakan harus ada AMDAL saja, kerusakan lingkungan tidak terkontrol, apalagi jika dihapuskan. Akhirnya, dengan mencuatnya wacana penghapusan dokumen ini adalah bentuk legitimasi negara terhadap perusakan lingkungan dan negara sedang melakukan pembiaran terhadap ancaman yang rakyat terima dari dampak buruk yang investasi hasilkan.
UU No. 32 Tahun 2009 yang berisikan pemberian sanksi pidana terhadap para perusak lingkungan dan pembakar hutan, akan direvisi dengan dihapuskannya sanksi pidana di dalam rancangan Omnibus Law. Kita bisa bayangkan harus berapa juta lahan lagi yang dibakar oleh korporasi, harus berapa ribu orang lagi yang harus sesak nafas karena efek kesehatan dari kabut asap hingga kita sadar betapa berbahayanya RUU ini bila disahkan.
Terakhir, adanya revisi UU MINERBA mengenai aturan pembatasan durasi izin perusahaan tambang yang pada awalnya hanya diperbolehkan selama 20 tahun dengan opsi perpanjangan waktu selama 10 tahun saja. UU Minerba yang baru menambah durasi operasi secara signifikan menjadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan setiap 10 tahun sekali. Keberadaan mineral baru di dalam lokasi operasi juga menjadi milik korporasi. Yang berarti, eksploitasi tanpa henti, sampai dengan sumber daya alam di tempat tersebut habis tak tersisa lagi.
Ini sungguh mengancam eksistensi ekosistem kita, sebab konsesi tambang akan dapat menjadi abadi, seperti tambang Freeport di Papua yang tak pernah pergi, telah ada di sana sejak tahun 1967. Manusia, flora, fauna dan tentu saja masa depan generasi bangsa kedepan sedang dipertaruhkan begitu saja hanya demi nafsu besar investasi dan narasi percepatan pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya tidak pernah dinikmati rakyat secara luas dan merata.
Ini jelas menunjukan bahwa negara hari ini telah takluk kepada kepentingan investor dan menunjukan pula ketidakberpihakannya terhadap rakyat kecil yang menjadi mayoritas hari ini. Kita tidak bisa mempercayakan apapun kepada kekuatan politik elite manapun di parlemen dan istana hari ini untuk mewakili suara penolakan kita, sebab hanya kekuatan massa yang bisa meruntuhkan ini semua.
Saya kira RUU CIPTA KERJA adalah musuh bersama bagi rakyat, yang menbuat kita akan sadar untuk segera terjaga dan mulai menyalakan alarm waspada terhadap oligarki yang sedang mengancam kehidupan bangsa Indonesia.