Operasi Anti Komunisme Bergaya Orde Baru

Kontras: Pemerintah Harus Hentikan Rekayasa Operasi
Anti Komunis! (Foto: citizendaily.net)

Jakarta-
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai,
maraknya operasi untuk mengamankan golongan yang diangap membangkitkan komunisme,
sampai pada penyitaan buku-buku adalah operasi bergaya Orde Baru (Orba).

“Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah Operasi,
bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi. Operasi
ini memiliki pembagian peran,” tulis Haris Azhar dalam pernyataan sikap KontraS, Kamis (12/5/2016).

Pertama, operasi tertutup, propaganda menyebarkan broadcast informasi
atribut-atribut “PKI” atau “Komunis” seperti di Palembang beredar berbagai
striker PKI. Penyebaran informasi perihal PKI juga banyak beredar di jejaring
media sosial yang luas digunakan publik Indonesia seperti Facebook, Twitter, Instagram.

KontraS melihat motif di balik operasi ini adalah, pertama, menunjukkan bahwa PKI masih ada dan menyulut rasa ketidaksukaan kelompok sosial lainnya
yang cenderung berada di garis konservatif.

Kedua, operasi mobilisasi (kelompok) masyarakat untuk memelihara ketakutan dan
perasaan adanya ancaman, sekaligus mendatangi organisasi-organisasi tertentu
dan menuduh komunisme.

Ketiga, operasi tertutup ini kemudian menarik para pengambil kebijakan
keamanan untuk bertindak restriktif dan represif dengan menekan
kelompok-kelompok ekspresi menggunakan hukum secara serampangan.

Diketahui, hari ini, Selasa (12/5/2016) Mabes Polri – Divisi Hukum akan
menggelar Focus Group Discussion: Kajian Yuridis Larangan Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia dengan mengutip peristiwa pembubaran
nonton film Pulau Buru Tanah Air Beta yang diselenggarakan oleh AJI Yogyakarta
dan berupaya untuk membenarkan tindakan legal guna melarang ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai bahan ajar bagi pimpinan Polri untuk
mengambil tindakan hukum.

Dalam hal ini, Joko Widodo selaku presiden justru mengamini genderang
operasi atau propaganda. Joko Widodo menyatakan perlu penegakan hukum atas
komunisme.

KontraS menilai, pernyataan semacam itu hanya akan dijadikan alat pembenar
bagi siapapun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung
konflik atau kekerasan. Atas nama “komunisme” seseorang atau kelompok tertentu
bisa melakukan main hakim sendiri.

“Operasi ini terjadi akibat kegamangan pemerintahan Joko Widodo dalam
menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Ketidakpatuhan hukum oleh Komnas HAM,
Jaksa Agung dan Presiden berdampak pada cara-cara penyelesaian yang berpotensi
memunculkan atau ‘sengaja menciptakan’ konflik sosial atau operasi tertentu,”
tegas Haris.

Tinggalkan Balasan