OPSI: Target 10 Juta Wisatawan Picu Tenaga Kerja Ilegal

0

Jakarta – Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar angkat bicara menanggapi isu serbuan 10 juta tenaga kerja dari Tiongkok. Menurutnya, jika dikatakan jumlah pekerja Tiongkok di Indonesia mencapai 10 juta adalah tidak valid. Namun, target pemerintah 10 juta wisatawan bisa saja berpotensi untuk  memicu adanya Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal.

Tenaga kerja ilegal asal Tiongkok. (Sumber: Bisnis.com)

“Apakah ada relasinya target 10 juta wisatawan dengan TKA ilegal? Menurut saya ada juga potensi hubungannya. Dengan menjadi wisatawan maka peluang meminta ijin tinggal sementara di Indonesia untuk jangka waktu tertentu terbuka,” ujarnya, Kamis (29/12/2016)

Menurut Timboel, izin tinggal yang dikeluarkan Dirjen Imigrasi bagi warga negara Asing (WNA) asal Tiongkok merupakan celah mudah bagi WNA tersebut menjadi TKA ilegal. Logikanya, kata dia, untuk apa mereka meminta izin tinggal jika bukan untuk bekerja. Pasalnya warga asing tidak terus  mengunjungi tempat wisata.

Terdapat dua jenis TKA ilegal. Pertama, TKA tanpa ijin atau tidak memiliki Ijin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) dan TKA yang punya IMTA tetapi dalam pelaksanaannya melanggar UU seperti bekerja tidak sesuai dengan ijin kerjanya, tidak sesuai Rencana Penggunaan Tenaga Kerja asing (RPTKA) dan tidak melakukan pekerjaan yang menuntut kemampuan tinggi dalam bidang alih tekhnologi.

“Jadi TKA yang punya IMTA pun bisa dikategorikan TKA ilegal bila melakukan pekerjaan tdk sesuai ijin. TKA seperti ini biasanya ada di gedung-gedung perkantoran bukan di lapangan di proyek proyek infrastruktur,” terangnya.

Timboel juga mengkritisi produk hukum di Indonesia yang mengatur tentang TKA. Menurutnya bila mengacu Pasal 42 – 49 UU Nomor 13/2003, menjadi TKA di Indonesia relatif sulit karena aturan dalam pasal tersebut sangat selektif sehingga TKA yang bekerja di Indonesia harus benar seorang TKA yang memiliki pekerjaan high skill untuk transfer tekhnologi.

Pasal 3 Permenaker Nomor 16/2015 juga mengatur perusahaan yang mempekerjakan 1 orang TKA harus dapat menyerap sekurang kurangnya 10 orang tenaga kerja lokal. Namun aturan yang selektif itu satu per satu dilonggarkan oleh regulasi operasional seperti hadirnya Permenaker Nomor 35/2015.
Bahkan Permenaker itu menegasikan isi Pasal 45 ayat 1a UU no. 13/2003 yang menyatakan pemberi kerja TKA wajib menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi.

“Sepertinya koordinasi antar instansi di republik ini masih rendah sehingga kebijakan satu instansi berdampak pelanggaran regulasi di sektor lain. Ya, koordinasi tetap menjadi ‘barang mahal’ di negara kita,” ujar Timboel

Kemudian, bila mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, maka seharusnya semua TKA harus bisa berbahasa Indonesia. Tentunya bila belum mampu berbahasa Indonesia maka wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia sebagaiaman diatur dalam ayat (2).

Namun lagi-lagi Pasal 33 UU Nomor 24/2009 tidak menjadi persyaratan yang diwajibkan oleh Permenaker no. 35/2015, akibatnya TKA menggunakan bahasa asalnya ketika bekerja di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi menciptakan terjadinya miskomunikasi antar pekerja di tempat kerja.

Timboel bercerita, beberapa waktu lalu mengadakan survey kecil di aman belakang Gedung BRI 2. Dia melihat pekerja PT Huawei (perusahaan asal tiongkok) yang sedang beristrirahat dan ngobrol di taman. Timboel bertanya ke salah seorang pekerja, ternyata pekerja itu tidak bisa bahasa Indonesia, hanya bisa bahasa Inggris terbata-bata.

Pekerjaan yang dilakukan bukan pekerjaan dalam rangka alih tekhnologi, kerjanya semacam operator enginering. Ketika ditanya namanya, dia menunjukkan kartu yg tergantung di lehernya yang semuanya menggunakan huruf tiongkok. Apabila mengacu ke UU Nomor 13/2003 dan UU Nomor 24/2009 tentunya TKA itu sdh melanggar dan bisa dikategorikan sebagai TKA ilegal. Tetapi kemungkinan pemerintah punya pertimbangan lain, seperti pertimbangan perluasan investasi, sehingga definisi TKA ilegal hanya dibatasi sebagai TKA yang tidak punya ijin kerja saja.

“Memang benar TKA ilegal asal tiongkok masih jauh dari angka 10 juta orang di Indonesia dan memang kata “serbuan” belum tepat untuk dikatakan saat ini, tetapi bila Dirjen Imigrasi terus memberikan ijin tinggal sementara, Kemenkeu dan Bappenas membolehkan pekerja kasar asal Tiongkok satu paket dengan pinjaman luar negeri, pengawasan TKA masih lemah dan koordinasi antar instansi juga rendah maka bisa saja lima atau sepuluh tahun ke depan negara ini akan benar-benar diserbu TKA ilegal asal Tiongkok,” tegasnya

Berdasarkan data yang dikeluarkan Dirjen Imigrasi, di Indonesia jumlah WNA asal Tiongkok yg memiliki ijin tinggal kunjungan sebanyak 95.746 orang dan ijin tinggal terbatas 31.030 orang serta ijin tinggal tetap 289 orang.

Seperti diketahui sebelumnya, isu serbuan 10 juta pekerja Tiongkok ke Indonesia marak dibincangkan di media sosial. Presiden Menurut Joko Widodo, isu 10 juta pekerja Tiongkok itu tidak benar, yang benar 10 juta adalah jumlah wisatawan dari China yang diharapkan datang ke Indonesia karena pemerintah sedang gencar berupaya menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *