Solidaritas.net, Jakarta – Paket kebijakan ekonomi Pemerintahan Jokowi sudah keluar, yang berfokus pada tiga hal besar, yakni meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek infrastruktur strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti.
Sementara, langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan pemerintah antara lain pengendalian harga komoditas pokok, seperti BBM dan pangan, kemudian pembentukan tim evaluasi dan pengawas, realisasi anggaran, dan yang ketiga pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk mendorong pemanfaatan biodiesel 15 persen, sehingga dapat mengurangi impor BBM dan harga ekspor kelapa sawit.
Untuk melindungi masyarakat dan menggerakkan ekonomi pedesaan, dilakukan pemberdayaan usaha mikro dan kecil dengan menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) dengan tingkat suku bunga yang rendah.
Sebetulnya, tidak banyak perbedaan kebijakan ekonomi Jokowi dengan SBY, bahkan dengan dengan rezim sebelumnya, yang sama-sama menggenjot investasi. Kebijakan ekonomi Jokowi saat pelemahan rupiah pada Maret 2015 lalu juga sama dengan SBY, yakni sama memberikan keringanan pajak untuk investor dan diperkuat oleh Bank Indonesia.
Ada 89 peraturan dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri yang akan dirombak. Telah disiapkan pula 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan menteri dan 5 aturan lain untuk mendorong daya saing industri.
Debirokratisasi pelayanan pemerintah dilakukan dengan penyederhanaan izin, penyelesaian masalah tata ruang, mempercepat pengadaan barang dan jasa, serta memberikan diskresi (pengambilan keputusan sendiri oleh pejabat) menyangkut hambatan hukum. Birokrasi Indonesia yang berbelit selain mempersulit rakyat menerima pelayanan pemerintah, juga menambah biaya pengusaha. Dengan alasan memberikan pelayanan prima kepada rakyat, maka mudah mendapatkan dukungan rakyat dalam soal debirokratisasi ini. Sekaligus, memenangkan perluasan investasi.
Debirokratisasi ini juga erat kaitannya dengan pemberantasan korupsi yang tentunya tidak mudah, mengingat upaya terus-menerus untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan datang dari partainya sendiri.
Kelebihan Jokowi dalam hal ini, menginginkan modal ditanamkan di sektor riil dengan sektor properti dan infrastruktur sebagai andalannya, mengimbangi investasi sektor finansial yang modalnya mudah dilarikan keluar. Tapi ini juga tidak mudah dan mengandung kelemahan besar. Pertama, ada 95 proyek mangkrak di Indonesia dengan nilai fantastis Rp 423,7 Triliun. Ada indikasi korupsi juga di sini.
Kedua, tentu, sumber dananya harus dicari. Dalam rumus investasi, mencari dana segar tidak membebani investor, tapi rakyat kelas bawah. Subsidi harus dihemat, atau bahkan dicabut, kembali berhutang dan melibatkan investor infrastruktur dengan jaminan pengembalian keuntungan.
Proyek infrastruktur dan properti yang didedikasikan untuk memperkuat investasi tidak akan membuat rakyat Indonesia menjadi tuan di negerinya sendiri. Produktivitas rakyat bisa jadi meningkat karena terserap dalam pekerjaan konstruksi, tapi sifat konstruksi ini tapi rakyat hanya akan menjadi buruh belaka yang bermajikan investor, terutama investor asing.
Proyek infrastruktur juga bersifat sementara, karena begitu proyek selesai, maka pekerjaan pun habis. Berbeda jika misalnya pemerintah fokus pada pembangunan industri nasional yang diprioritaskan pada sektor energi dan manufaktur, terutama besi dan baja. Produktivitas akan lebih terjamin oleh kedaulatan terhadap sumber daya alam dan industri.
Jelasnya, rumus-rumus pemerintahan Jokowi yang tak jauh berbeda dari SBY yang menekankan pada investasi asing untuk menyerap dollar ini bersifat obat sementara. Pelemahan rupiah, potensi krisis dan krisis itu sendiri akan selalu menjadi penyakit kambuhan. Pembangunan industri nasional kita sendiri tidak pernah dibicarakan lagi dalam rumus pemerintahan neoliberal.
Referensi:
[1] Presiden Jokowi Umumkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I, CNN Indonesia, Rabu, 9 September 2015.
[2] Menengok Kebijakan Penyelamatan Ekonomi ala Jokowi dan SBY, Merdeka.com, 14 Maret 2015.
[3] BKPM: Indonesia Punya 95 Proyek Mangkrak Rp 423,7 Triliun, CNN, Indonesia, 28 Januari 2015.