Pasar Bebas ASEAN Hilangkan Kepastian Kerja

Solidaritas.net, Jakarta – Program Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 akan segera dilaksanakan dan berlaku efektif mulai tanggal 31 Desember 2015 mendatang. Secara prinsip, program ini membawa agenda liberalisasi atau pasar bebas ASEAN, khususnya di bidang tenaga kerja. Dengan adanya liberalisasi pasar tenaga kerja tersebut, tentunya akan memicu persaingan kerja yang lebih mendalam tidak hanya di kalangan buruh dalam negeri, tetapi juga antara buruh asal luar negeri (biasanya disebut ekspatriat) dengan buruh lokal.

buruh tolak pasar bebas
Buruh Jakarta berdemo dengan salah satu tuntutannya Tolak Pasar Bebas. Kredit: Mulyadi – facebook.com/mulyadie.zz

Tak ayal, berlangsungnya program MEA 2015 ini pastinya juga akan memicu kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dari banyak perusahaan di Indonesia. Pasalnya, saat ini kebanyakan buruh Indonesia hanya menyandang gelar pendidikan tamat SD sampai SMP saja. Bahkan, selama ini saja, sudah sangat banyak kasus perburuhan yang terjadi merugikan kaum buruh, terutama soal PHK sepihak yang dilakukan oleh para pengusaha.

“Buruh secara terus-menerus dihadapkan dengan kenyataan yang pahit. Selama 2 tahun, 2013-2014, data Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), organisasi yang saya pimpin, sebanyak 1500 orang telah di-PHK tanpa alasan yang jelas. Belum lagi dari serikat buruh yang lain,” ungkap Sukanti yang juga merupakan anggota Komite Persiapan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KP-KPBI), seperti dikutip dari Liputan6.com, Senin (13/4/2015)

Dijelaskannya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, tenaga kerja Indonesia lebih banyak didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang pendidikan belum tamat SD, atau hanya tamat SD dan SMP. Jumlahnya sampai mencapai 77,8 juta orang. Sedang yang berlatar belakang pendidikan SMA dan pendidikan tinggi hanya sekitar 40,2 juta orang.

Bahkan, menurut hasil penelitian ADB dan ILO menyebutkan bahwa sebanyak 63 persen tenaga kerja Indonesia dianggap masih memiliki keterampilan di bawah kualifikasi standar. Melihat dari standar pendidikan dan kualitas tenaga kerja Indonesia tersebut, ternyata masih sangat jauh tertinggal jika dibanding Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

“Liberalisasi tenaga kerja ASEAN dianggap akan menghilangkan jaminan terhadap kepastian kerja. Hal ini karena rekrutmen tenaga kerja akan ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran jasa tenaga kerja, yang kewenangannya ada di tangan perusahaan, bukan negara,” lanjut Sukanti dalam keterangannya tersebut kepada para wartawan di Jakarta.

Oleh karena itu, KP-KPBI mendesak Kementerian Tenaga Kerja untuk segera menyelesaikan kasus perburuhan di Indonesia dan membuat undang-undang untuk perlindungan buruh. Sukanti menilai, selama ini pemerintah belum serius untuk menangani persoalan buruh. Makanya, dia meminta pemerintah bersikap pro buruh. Apalagi, menurutnya selama ini kaum buruh telah mengalami banyak tekanan dari berbagai kebijakan oleh pemerintah.

“Persoalan perburuhan cukup pelik. Belum lagi soal upah. Keputusan Menaker untuk me-review upah hanya 1 kali dalam 5 tahun, sangat tidak berpihak pada kepentingan buruh. Apalagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang mencabut subsidi BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi, serta tidak adanya jaminan penurunan harga-harga kebutuhan pokok, akan semakin membuat buruh sengsara,” pungkas Sukanti lagi sambil menutup keterangannya.

Tinggalkan Balasan