Pasien Cuci Darah Menangkan Gugatan di MA, Iuran BPJS Batal Naik

Bekasi – Kenaikan iuran BPJS akhirnya dibatalkan melalui amar putusan Mahkamah Agung (MA) atas gugatan yang dilayangkan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) pada 2 Januari 2020 lalu.

“Saya rasa rakyat kecil yang kemarin menjerit karena kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen akan senang menyambut keputusan MA ini. Dan KPCDI berharap pemerintah segera menjalankan keputusan ini, agar dapat meringankan beban biaya pengeluaran masyarakat kelas bawah setiap bulannya” ujar Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir, yang juga pasien gagal ginjal yang sudah melakukan cangkok ginjal itu.

Tony Samosir berharap pemerintah, ataupun BPJS Kesehatan tidak lagi membuat keputusan dan kebijakan yang sifatnya mengakali atau mengelabui dari keputusan tersebut. “Jalankan keputusan MA dengan sebaik-baiknya. Toh ini yang menang rakyat Indonesia,” tegasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, KPCDI yang merupakan organisasi berbentuk perkumpulan dan anggotanya kebanyakan penyintas gagal ginjal (Pasien Cuci Darah) ini, akan terus mengawal keputusan MA hari ini.

“KPCDI juga akan terus berjuang demi kepentingan pasien. Setiap kebijakan publik yang merugikan pasien dan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita berdirinya negara ini, akan tetap kami lawan,” tegasnya.

Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), menyambut baik putusan MA dan mengucapkan terima kasih atas upaya rekan-rekan KPCDI.

“Salut dan hormat atas usaha rekan-rekan komunitas pasien cuci darah. Dalam kondisi yang sulit, justru mereka yang memperjuangkan kepentingan kita. Ini kemenangan rakyat Indonesia,” katanya.

Atas pembatalan kenaikan iuran dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Sosial itu, pemerintah dan BPJS pun diminta untuk menyusun konsep teknis pengembalian uang iuran yang sudah terlanjur dibayar sejak Januari lalu agar bisa memberikan kepastian hukum bagi konsumen.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Konsumen Indonesia, Firman Turmantara Endipradja mengatakan pada prinsipnya, jangan sampai hak konsumen yang sudah membayar iuran dikurangi atau dirugikan.

“Namun sebaliknya apabila pemerintah arogan, otoriter dan sewenang-wenang tentunya putusan MA itu akan diabaikan,” ujar Firman melansir Ayobandung.com, Selasa (10/3/2020)

Firman menambahkan bahwa pengembalikan sisa iuran itu harus dilakukan jika pemerintah konsisten terhadap konsep Equality Before the Law dan Rule of Law.

Menurut Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan Badung itu pembuat Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan seharusnya malu sampai MA membatalkan hasil kerjanya.

Artinya, tutur Firman, tidak sedikit peraturan presiden yang bertolak belakang dengan kondisi dan aspirasi masyarakat karena melanggar aspek sosiologis dan aspek filosofis, meskipun dari aspek yuridis sudah benar. Dia mengatakan, dibatalkannya Perpres ini menunjukkan konstruksi hukum di Indonesia sudah terbalik-balik alias “crowded”. Konsep Omnibus Law juga menurutnya sudah melenceng dari makna sesungguhnya.

Sebelumnya, pembatalan tersebut tertuang dalam amar putusan MA yang “Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan ketentuan perundang-udangan yang lebih tinggi.”

Perpres tersebut pun dinilai tidak punya kekuatan hukum yang mengikat dan bertentangan dengan UU Dasar 1945 dan pasal lain dalam UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional.

MA lantas mengelar sidang putusan pengabulan pembatalan yang dilakukan oleh Hakim Yoesran, Yodi Martono, dan Supandi pada 27 Februari 2020 dan putusan tersebut dikeluarkan pada Senin, 9 Maret 2020 kemarin.

Pasalnya, Perpres tersebut mengatur kebijakan kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sampai dengan 100%.

Tinggalkan Balasan