Batam – Pekerja Pelayanan Listrik Nasional (PLN) Batam akan melakukan aksi mogok kerja selama tiga hari di awal tahun 2017.
Ilustrasi mogok kerja |
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Pekerja PLN Batam, Bukti Panggabean mengatakan alasan mogok kerja karena DPRD Kepulauan Riau (Kepri) tak kunjung menyetujui penyesuaian tarif listik Batam yang sudah diajukan sejak awal 2016.
“Kami sebagai pengurus serikat pekerja mewakili pegawai yang berjumlah 480 orang akan melakukan mogok kerja pada Januari nanti,”ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Pekerja PLN Batam, Bukti Panggabean dikutip dari tribunnews.com, Selasa (27/12/2016)
Mengenai kapan mogok kerja akan dilakukan, Panggabean mengaku belum menentukan. Namun mereka tetap akan melayangkan surat pemberitahuan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri.
Menurut Panggabean,jika mogok kerja berhasil dilakukan, suplai listrik ke Pulau Bintan, Belakangpadang, hingga Sembulang akan terhenti. Akibatnya, beberapa daerah itu terancam blackout atau gelap.
Lambannya penetapan tarif listrik itu juga mengakibatkan kerugian. Pasalnya Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN Batam Rp 1.388, namun dijual dengan harga Rp 900an per kilowatt hour (kWh).
Sedangkan Persero yang mendapat subsidi pemerintah menjualnya dengan harga Rp 1.459 per kWh. Sementara itu keuangan PLN terus menurun.
Berdasarkan hasil audit Price Waterhouse Coopers (PWC), dari bulan Januari hingga Juni 2016 keuangan PLN Batam minus Rp26 miliar, keuntungan PLN pun tergerus 6 juta US dolar atau sama dengan Rp 70 miliar perbulan. Diduga, hal ini terjadi karena tidak adanya Penyesuaian Tarif Listrik Berkala (PTLB).
Keadaan keuangan tersebut yang membuat pekerja PLN resah. Bukan hanya nasib mereka, krisis listrik di daerah ini juga sangat mereka pertimbangkan jika keuangan PLN semakin menipis.
Sebelumnya kerugian bisa ditutupi melalui subsidi silang dari golongan industri dan ditopang deposito dari tabungan yang waktu itu mencapai Rp 1 trilliun. Namun saat ini susah ditutupi karena persentase pelanggan rumah tangga terus melonjak, dari 32 persen menjadi 37 persen. Sebaliknya sektor industri terus menurun dari 32 persen menjadi 25 persen.