Oleh: Ashley Fataar
75 ribu buruh pertambangan platina sudah memasuki minggu ke-21 pemogokannya—mogok terlama di Afrika Selatan sejak tahun 1994. Mereka menuntut upah sebesar US$1,250 per bulannya. Pemilik perusahaan hanya menawarkan US$750.
Latar Belakang
Pada bulan Agustus, 2012, buruh-buruh pertambangan yang bekerja di Lommin (yang dimiliki perusahaan tambang Marikina) melancarkan pemogokan ilegal. Tak satu pun dari dua serikat buruh terbesar, National Union of Mineworkers (NUM) atau pun Association of Mineworkers and Construction Union (AMCU), turut mengorganisir atau setuju pada pemogokan tersebut. Pemogokan tersebut diorganisasikan oleh anggota dan jajaran pengurus tingkat bawah.
Sementara elit pimpinan dua serikat buruh terbesar itu menyerukan agar buruh menghentikan pemogokannya, namun terdapat beberapa pimpinan AMCU yang mendukung pemogokan tersebut. (Itulah yang menyebabkan sebagian besar anggota NUM keluar dan bergabung dengan AMCU, serikat buruh yang kemudian sekarang memimpin pemogokan.)
Sadar bahwa pemogokan ilegal tak ada tanda-tanda untuk berhenti, polisi, dengan dibantu oleh keamanan perusahaan tambang tersebut, menembaki para pemogok yang tak bersenjata. 34 mati dibunuh.
Setelah empat minggu, mereka berhasil memenangkan sedikit saja kenaikan upah. Manajemen Lonmin berjanji akan menaikan upah menjadi $1,250 tak lama lagi, namun, kemudian mereka mengingkari kesepakatan.
Setelah menunggu 16 bulan realisasi kenaikan upah yang dijanjikan, buruh-buruh, dengan didukung oleh serikatnya, melancarkan pemogokan pada bulan Januari. Setelah tiga bulan, setelah mengalami kelaparan dan kebingungan, buruh mulai cekcok. 600 buruh untuk sementara menghentikan pemogokan dan mulai bekerja kembali. Hingga akhirnya kawan-kawan dari organisasi Democratic Left Front (DLF) menyemangati mereka dan memberikan solidaritasnya.
Kami mengirimkan seruan seluas-luasnya kepada mereka yang nampaknya mau membantu, termasuk lembaga-lembaga gereja, mesjid, organisasi non-pemerintah, serikat buruh, dan universitas. Respon yang kami dapatkan: mereka menyambut hangat perjuangan kami. Bantuan dana dan makanan datang dari gereja dan masjid, yang diperoleh saat mereka mendengarkan seruan untuk membantu di waktu-waktu beribadah.
Semangat meningkat kembali
Pada tanggal 12 Mei, pemilik perusahaan tambang mengeluarkan ancaman kepada buruh-buruh yang mogok: mereka harus bekerja kembali dengan batas waktu 48 jam, bila tidak, akan dipecat. Dua hari kemudian, ribuan buruh yang mogok bangkit dan mengatakan pada pemilik perusahaan tambang tersebut bahwa mereka tak akan bekerja kembali. Saat itulah para buruh sadar berapa keuntungan yang telah mereka berikan pada pemilik perusahaan tambang.
Perusahaan-perushaaan media, yang sebagian besar tak memberitakan pemogokan, sekarang mulai memberitakannya—dengan cara yang hampir-hampir seperti mendukung pemogokan. Saat organisasi terkemuka yang mengurusi bala-bantuan mulai mengirimkan sembako dan dokter-dokter untuk membantu para buruh dan keluarganya, mulai lah banyak yang tergugah hatinya untuk membantu pemogokan.
Tiga buruh tambang sekarang sedang tur keliling di beberapa kota. Tur tersebut diorganisasikan oleh Marikana Solidarity Campaign (MSC), yang merupakan induk organisasi DLF. Ratusan orang mulai terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan para pembicaranya dari buruh tambang sendiri. Aksi-aksi tersebut telah memompakan harapan dan kekuatan pada para pemogok untuk teguh melanjutkan pemogokan. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu buruhnya:
“Bila ada yang mengatakan bahwa buruh sedang menderita—sebenarnya, bukan buruh saja yang menderita karena jutaan, maksudnya seluruh bangsa, sedang menderita. Masalah ini adalah masalah kepentingan umum. Tak sekadar kepedulian terhadap buruh tambang semata.”
Alasan lain adanya dukungan terhadap pemogokan tersebut adalah karena masyarakat Afrika Selatan adalah masyarakat yang paling tidak setara di dunia. Dalam industri pertambangan, CEO nya “berpendapatan” antara 200 hingga 300 kali ketimbang yang dibayarkan kepada buruhnya. Itulah cerminan ketidaksetaraan pendapatan di Afrika Selatan. CEO dari perusahaan eceran terbesar, Shoprite, “berpenghasilan” 725 kali ketimbang yang dibayarkan pada buruh ecerannya!
Itulah warisan apa yang disebut “bangsa pelangi”. Itu karena kebijakan-kebijakan neoliberal pemerintah ANC. Undang-undang ketenagakerjaan “ditunda-tunda” pengsyahannya, yang beakibat kesewenang-wenang dan serangan terhadap upah buruh. Pada tahun 1993, upah dihitung senilai separuh dari biaya dalam usaha pertambangan. Sekarang mereka menghitungnya senilai sepertiganya. Pada periode yang sama, keuntungan perusahaan-perusahaan pertambangan telah meningkat secara mengejutkan, 300%.
(Baca selanjutnya di halaman 2)
Pemilik perusahaan menukar-guling upah dengan menurunkan harga
Seperti biasanya, keluhan pemilik perusahaan tambang adalah: upah $1,250 akan menyebabkan perusahan tak punya daya tahan dan tak bisa berkembang. Itu tak benar. Penelitian yang dilakukan oleh para aktivis telah menunjukkan bahwa telah terjadi kerugian lebih dari $1.5 milyar karena perusahaan-perusahaan tambang telah menjual platina di bawah harga pasar dunia ke perusahaan-perusahaan lain. Memang adalah biasa bagi perusahaan-perusahaan tambang menjual logam ke perusahaan lain, namun didaftarkan sebagai keringanan pajak di Hindia Barat dan Kepulauan Channles. Keringanan pajak tersebut, dalam sebagian besar kasusnya, diberikan pada cabang-cabang perusahaan tambang. Sekarang perusahaan-perusahaan tambang menjual platina seperiga harga pasar. Sehingga mereka bisa dengan efektif menyembunyikan dua pertiga penghasilannya. Itulah cara mereka menghindari pajak dan membayar upah dengan layak.
Asjiki!—Tak Akan Mundur!
Dalam 6 bulan sebelum mogok, pemilik perusahaan tambang telah menumpuk persediaan (hasil produksi) setra dengan penjualan selama 3 bulan. Hampir seperti isyarat, tiga bulan pemogokan berjalan, Amplat, salah seorang pemilik perusahaan tambang, mengumumkan bahwa mereka tak akan membayar perusahaan-perusahaan pemasok (suppliers). Saat itulah buruh mulai sadar bahwa tekanan mulai terasa oleh pemiliki perusahaan.
Ada alasan lain mengapa buruh-buruh tambang itu menjadi semakin teguh—pembantaian, pembunuhan, pada masa lalu. Komisi judisial yang menyelidiki kasus penembakan tersebut telah menyelesaikan penyelidikannya, walaupun tak ada pemilik perusahaan yang dipersalahkan, namun pejabat resmi senior kepolisian atau menteri telah dipanggil untuk bersaksi.
Presiden Zuma mengeluarkan keputusan tentang penyedilikan judisial dengan menjamin bahwa tidak akan ada menteri yang akan dipanggil untuk bersaksi. Karena penyelidikan nampak seperti hendak menutup-nutupi kesalahan dan tak seorang pun yang didakwa, maka tuntutan kenaikan upah kemudian ditingkatkan sebagai cara untuk menuntut keadilan. Karena pemilik perusahaan yang bersikeras dengn posisinya, para buruh tambang mulai berkometar, “Sekarang ini, tuntutan kita harusnya upah $1,500.”
Cara yang paling ampuh untuk menjamin bahwa pemogokan bisa berhasil adalah dengan menyeret semua gerakan sosial ada di belakang, mendukung buruh tambang. Perjuangan buruh tambang harus dianggap sebagai perjuangan kita semua. Perjuangan rakyat semuanya sama kepentingannya. Itulah mengapa persatuan adalah penting. Seorang buruh tambang mengatakan:
“Kita harus bersatu—seluruh organisasi harus bersatu—berjuang melawan pemilik perusahaan tambang dan negara. Kita bisa lihat, sekarang negara adalah wasit dari buruh tapi nyatanya justru membela kapitalis. Jadi, saat ada dukungan, bahhkan dukungan berupa 10 sen pun bagi para pemogok, itu sangat membantu kami karena kami tidak akan berpaling dari mereka yang tak mampu mendapatkan dana untuk perjuangannya. Mereka membuat kami merasa lapar karena itulah satu-satunya strategi yang bisa digunakan perusahaan, menyerang kami dengan membuat kami lapar.”
Apapun hasil pemogokan buruh tambang tersebut, ada satu hal yang pasti: kelas buruh Afrika Selatan telah berubah, tak akan sama lagi.
[Ashley Fataar adalah anggota organisasi Keep Left in South Africa.]
Diterjemahkan oleh Danial Indrakusuma
Sumber: Red Flag