Solidaritas.net, Palu – Pusat Perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) Kota Palu menggelar aksi di depan kampus Universitas Tadulako (UNTAD), Rabu (30/9/2015). Selain untuk memperingati momen G-30-S di mana jutaan rakyat dibantai dengan tuduhan komunis, aksi serentak yang dilakukan oleh Pembebasan ini juga merupakan aksi solidaritas untuk Salim Kancil, seorang warga desa yang dibunuh (dengan cara disiksa dan dibantai) pada 26 September 2015 lalu, akibat menolak keberadaan tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Koordinator lapangan (Korlap), Muhammad Aras, menjelaskan ada tiga hal yang melatarbelakangi aksi tesebut. Pertama, terbunuhnya Salim Kancil. Kedua, memperingati 50 tahun pembunuhan massal yang terjadi pada 1965/1966 yang lalu. Ketiga, menolak militerisme. Selain itu, Aras juga menyerukan agar persatuan perjuangan rakyat segera dilaksanakan.
“Hari ini Salim kancil dibunuh, ada juga yang disiksa. Tentu mengingatkan kepada kita bahwa 50 tahun (setengah abad) yang lalu, lebih dari 3 juta petani dari Barisan Tani Indonesia (BTI), anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), dan simpatisannya dibantai dan disiksa tanpa diadili. Musuhnya sama, meski jamannya berbeda. Permusuhan abadi inilah yang mengharuskan penyatuan perjuangan rakyat segera dilaksanakan,” kata Aras dalam orasinya.
Selain dari kalangan mahasiswa, aksi tersebut juga dihadiri perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Nisma Abdullah. Dalam orasinya Nisma menyatakan bahwa pemerintah harus meminta maaf kepada korban tragedi 1965/1966 karena menurutnya sejak peristiwa itu terjadi, rakyat Indonesia hanya dijejali kebohongan sejarah.
“Terkait pelanggaran hak asasi manusia tahun 1965/1966 pemerintah harus meminta maaf kepada para keluarga korban pembantaian. Selama masa Orde Baru, otak rakyat di jejali dengan kebohongan-kbohongan sejarah yang ditanamkan kedalam kepala masyarakat, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai perguruan tinggi,” ungkap Nisma dalam orasinya.