Pemuda di Malang Memprotes Omnibus Law

0

Sebanyak 45 pemudi-pemuda berdemonstrasi di depan Balai Kota Malang menentang Omnibus Law Kamis (16/07/2020). Massa yang tergabung dalam Aliansi Malang Melawan (AMM) ini mengemukakan bahwa Omnibus Law mengagungkan investasi namun mengorbankan kesejahteraan buruh, kelestarian lingkungan, dan hak-hak pendidikan. Ramli Abdul Rajak, humas massa aksi, mengemukakan bahwa Omnibus Law ini sebelumnya sudah sering ditolak, termasuk lewat rentetan aksi Reformasi Dikorupsi. Namun rezim memanfaatkan masa pandemi sebagai celah menggolkan peraturan-peraturan hukum yang ditolak rakyat. “Padahal Omnibus Law baik dari segi hukum dan prosedur bahkan dari segi filosofis sama-sama bermasalah.”

Massa aksi menyoroti permasalahan dan keganjilan Omnibus Law ini dengan mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja diklaim pemerintah mampu menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih. Namun ironisnya pada kenyataannya dibutuhkan lebih kurang 500 Peraturan Pemerintah baru untuk melaksanakan ketentuan Rancangan Undang Undang ini jika kelak disahkan.

AMM menjelaskan bahwa dalam perkembangan saat ini rancangan undang undang omnibus law tentang cipta kerja telah masuk di Gedung DPR, dan sampai hari ini masih dalam pembahasan. Pemerintah mengklaim bahwa RUU Cipta Kerja ini dirancang untuk dapat menjawab kebutuhan pekerja, Usaha Kecil dan Menengah (UKM), hingga industri. Namun aturan dalam omnibus law secara eksklusif justru tampak dibuat untuk lebih mengutamakan posisi investor/korporasi daripada memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat. “Padahal, konstitusi sudah memandatkan bahwa melindungi dan menyejahterakan rakyat harus lebih diutamakan, bukan malah memberikan posisi investor lebih tinggi dari segalanya.”

Selain persoalan materi muatan dalam RUU Cipta Kerja itu, menurut AMM juga terdapat permasalahan serius soal paradigma hukum pembuatan Rancangan Undang Undang ini. Presiden, menurut AMM, telah bertindak dan melakukan klaim bahwa RUU Cipta Kerja merupakan kehendak ataupun representasi dari keinginan rakyat. Padahal klaim ini tidaklah teruji dan tidak terbukti, apalagi Satgas Omnibus Law bentukan Presiden minim partisipasi rakyat bahkan justru didominasi oleh kalangan pengusaha dan konglomerat.

Lebih lanjut Abdul mengemukakan “Omnibus Law tidak melibatkan partisipasi masyarakat, tertutup, dan menciderai hak-hak demokratis masyarakat…Kurang lebih 11 kluster tidak ada yang mementingkan kepentingan rakyat…Justru Omnibus Law mendaur ulang pasal-pasal kolonial. Misalnya Hak Guna Usaha lahan di RUU Cipta Kerja mencapai 90 tahun.”

Dirinci lebih lanjut, demi melayani investasi di atas segalanya, Omnibus Law menghapuskan kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta menerapkan prinsip mudah merekrut dan mudah memecat pekerja, upah buruh rendah, bahkan menghapuskan sanksi pidana bagi investor nakal. Abdul mengemukakan Omnibus Law bukan hanya merugikan buruh tapi juga rakyat pada umumnya. “Lewat Omnibus Law, petani dan masyarakat adat juga turut dirugikan karena negara menempatkan diri sebagai pihak yang berhak mengelola tanah adat dan tanah yang tidak disertifikasi…sementara perusahaan-perusahaan perkebunan, industri pertambangan ekstraktif, dan elit-elit oligarki diberi akses besar untuk memperluas korporasi. Sedangkan di sisi lain kelestarian lingkungan tidak dianggap lagi.”

Selain merugikan buruh, petani, dan masyarakat adat, para demonstran memandang Omnibus Law juga merugikan mahasiswa serta pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan tinggi. Mahasiswi-mahasiswa ikut berdemonstrasi menentang Omnibus Law karena liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan tinggi akan semakin parah karenanya. Hal itu dikemukakan, Rafi, salah satu orator aksi, yang menegaskan, “Omnibus Law mengubah UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 tahun 2012 tentanG pendidikan Tinggi, dan U No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mana sebelum Omnibus Law sudah ada masalah liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan, kini diperparah dengan dihapuskannya norma kebudayaan sebagai ketentuan standar pendidikan nasional, tidak diwajibkannya akreditasi program studi, serta risiko meningkatnya masalah praktik jual beli ijazah akibat dihapuskannya larangan dan sanksi terkait itu.”

Abdul menambahkan, bukan hanya peserta didik, pekerja di sektor pendidikan tinggi juga akan dirugikan Omnibus Law. Pekerja kebersihan, pekerja jasa, dan pegawai di kampus akan dirugikan dihapuskannya lama maksimal pekerjaan kontrak dan juga outsourcing tak ada batasan lagi sehingga pekerja semakin tidak punya kepastian kerja. “Jadi Omnibus Law sangat berpengaruh juga ke mereka karena Omnibus Law tidak hanya menimpa para pekerja di industri berat atau padat karya saja namun seluruh sektor ketenagakerjaan.”

Lebih lanjut, massa aksi, menjelaskan dalam rilis persnya, bahwasanya hadirnya Omnibus Law yang dikebut rezim di tengah situasi pandemi serta kesengsaraan rakyat saat ini perlu direspon organisasi-organisasi pergerakan rakyat dengan berkonsolidasi dan bersatu. Buruh, tani, pemuda, mahasiswa, masyarakat desa, dan kaum tertindas lainnya, harus menyatukan pandangan dan perjuangan ekonomi maupun politik.

Sebab ketertindasan rakyat saat ini bukan hanya semakin parah akibat pandemi Covid-19 namun juga sikap pemerintah yang justru malah menyengsarakan rakyat. Sebagaimana dirinci di rilis pers AMM, sektor pendidikan dan kesehatan yang selama ini juga termasuk sektor komersil yang sepenuhnya tidak melayani kepentingan rakyat, mulai mengalami kemerosotan dan mengalami krisis di tengah pandemi sekaligus tidak menjamin dan menjawab kebutuhan rakyat atas akses pendidikan serta kesehatan. Hal serupa juga terjadi di sektor pertanian dan perikanan yang terjerat oleh kapitalisasi dan liberalisasi pasar berwujud penguaasaan benih, pupuk, monopoli tanah, alih fungsi lahan pertanian serta alat produksi lainnya dan mengakibatkan pasokan pangan dan kebutuhan dasar rakyat atas pangan semakin rentan dalam kondisi pandemi saat ini. Hal tersebut juga ikut berimbas pada berbagai sektor usaha baik sektor formal maupun nonformal dan mengakibatkan menurunnya tingkat konsumsi masyarakat di tengah melemahnya perekonomian nasional. Kondisi tersebut berakibat panjang terhadap kelangsungan pekerjaan serta pendapatan kalangan pekerja/buruh, ditengah situasi pandemi saat ini banyaknya perusahaan maupun pabrik yang kemudian mengalami penurunan pendapatan serta harus mengambil pilihan untuk memangkas biaya produksinya. Perihal tersebut kemudian berdampak pada sektor ketenagakerjaan sendiri, pasalnya tidak sedikit pengusaha yang mengambil keputusan dengan merumahkan sebagian pekerja/buruh. Bahkan ada yang lebih ekstrem dengan mengambil pilihan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruhnya. Itu semua menurut AMM akan semakin parah bilamana Omnibus Law berhasil diberlakukan.

Oleh karena itu lewat aksi ini, AMM berharap bisa menjadikannya sebagai aksi pemanasan setelah sebelumnya berbagai gelombang aksi sekitar Reformasi Dikorupsi mengalami keterputusan akibat pandemi. Massa aksi juga mengemukakan rencananya untuk berkonsolidasi dengan lebih banyak organisasi rakyat seperti serikat-serikat buruh, kelompok tani, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM).

(Kontributor Malang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *