Dalam acara pembukaan kongres sebuah serikat pekerja yang berlokasi di Bali, Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) mengklaim telah memperkuat perlindungan terhadap buruh dengan dikeluarkannya berbagai peraturan ketenagakerjaan. Kemnaker menyebutkan dalam tiga tahun terakhir setidaknya ada sembilan peraturan ketenagakerjaan yang diterbitkan untuk melindungi buruh.
Buruh menolak PP Pengupahan. Foto: Solidaritas.net (CC-SA-3.0) |
Peraturan-peraturan tersebut antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian; Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Selain itu pemerintah pun telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. [1]
Dengan merujuk pada klaim di atas, ada tiga persoalan yang harus diperhatikan. Pertama, salah satu masalah pokok yang dialami buruh adalah ketidakpastian kerja. UU Ketenagakerjaan menyediakan empat cara pengadaan buruh yang fleksibel, yakni buruh harian, pemagangan, outsourcing dan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT). Meskipun, ada pembatasan-pembatasan, misalnya tenaga kerja kontrak tidak boleh digunakan di bagian produksi yang bersifat tetap yang masa kerjanya di atas tiga tahun (pasal 59 UU No. 13 tahun 2003) atau tenaga kerja harian tidak boleh digunakan selama lebih dari 21 hari dalam satu bulan (Pasal 10 s.d. Pasal 12 KEPMEN No. 100 Tahun 2004). Penegakan hukum ketenagakerjaan yang lemah karena alasan kekurangan personel, menjadikan pelanggaran ketenagakerjaan sebagai hal yang bisa dinegosiasikan (bukan ditegakan) dan adanya budaya korupsi, menjadikan praktek penggunaan buruh secara fleksibel menjadi leluasa. Jumlah buruh fleksibel mencapai 60-70 persen.
Dalam kondisi kerja fleksibel, maka buruh kesulitan untuk mengakses program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang berbasis pembayaran iuran itu. Tanpa pekerjaan yang tetap, maka buruh kesulitan mempertahankan kepesertaan BPJSnya. Aturan-aturan yang ada tidak berupaya menyelesaikan persoalan mendasar ini.
Kedua, hukum tidak selalu memperkuat posisi buruh. Peraturan pengupahan yang baru, PP No. 78 tahun 2015, menghilangkan peranan dan posisi tawar buruh menentukan upah di dewan pengupahan, kenaikan upah minimum ditentukan oleh kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang ditentukan pemerintah dan memperkuat perundingan bipartit dalam penentuan upah di perusahaan. Sebagai hasilnya, upah tahun 2016 hanya naik sebesar 11,5 persen dan upah tahun 2017 nanti hanya akan naik sebesar 8,25 persen. [2]
Secara sosiologis, buruh adalah pekerja yang tidak memiliki modal sehingga posisinya lemah dan terpaksa menerima syarat-syarat kerja yang ditentukan oleh pengusaha sebagai pemilik modal. Hukum perburuhan sebagai hukum administrasi negara lahir untuk memperkuat posisi buruh saat berhadapan dengan kapitalis. Hukum memberikan batasan-batasan minimum mengenai kondisi kerja layak, pengawasan dalam pelaksanaan dan sanksi jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha. Nah, jika suatu peraturan dibuat hanya untuk memperkuat mekanisme bipartit dan mediasi belaka, bukannya pengawasan, maka peraturan ketenagakerjaan tersebut menjadi tidak ada artinya. Negara tetap saja membiarkan buruh yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga kerjanya, berlaga melawan pengusaha yang memiliki kekayaan.
Ketiga, pemerintah hanya memberi sedikit, tetapi mengambil banyak. Kelihatannya, pemerintah memberikan kenaikan kesejahteraan melalui Permenaker 6/2016 yang menetapkan pembayaran tunjangan hari raya (THR) untuk buruh yang masa kerjanya satu bulan. Sebelumnya, pembayaran THR berlaku bagi buruh yang memiliki masa kerja selama tiga bulan.[3] Namun, jika dicermati, apa yang diberikan oleh pemerintah tidak sebanding dengan hak yang diambil dari buruh. Setelah adanya PP Pengupahan, kenaikan upah menjadi sulit di atas 10 persen per tahun, sedangkan dalam kasus THR, tidak akan banyak gunanya bagi buruh hanya dengan perbaikan peraturan tanpa memperketat pengawasannya. Pengusaha tetap leluasa melanggar. Di Jawa Timur saja, 4.404 buruh melaporkan pelanggaran hak THR kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pada tahun 2016 ini. [4]
Catatan kaki:
[1] http://www.beritasatu.com/industri-perdagangan/393029-pemerintah-perkuat-perlindungan-buruh-melalui-hukum.html
[2] http://poskotanews.com/2016/10/19/siregar-upah-minimum-tahun-depan-naik-825-persen/
[3] http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3176798/aturan-baru-karyawan-masa-kerja-1-bulan-berhak-dapat-thr
[4] http://www.antarajatim.com/berita/180230/4404-buruh-lapor-pelanggaran-thr