(bagian 3, bersambung)
Di bawah tekanan kemunduran gerakan kelas buruh internasional pada tahun 80-an, satu sayap dalam PT kian terfokus pada pencapaian elektoral (keterlibatan dalam pemilu) dan mulai membangun aparat-aparat elektoral. Proses tersebut kemudian semakin dikukuhkan lewat reorganisasi PT.
Pada awalnya, PT diorganisasir dalam skala besar lewat sel-sel partai dalam pabrik-pabrik. Sel-sel tersebut bertemu bersama dalam rapat-rapat regional, tingkat negara bagian dan nasional, serta mempunyai pengaruh kritis terhadap jalannya partai.
Pada tahun 1983, di luar PT, mulai berkembang gerakan untuk membentuk CUT—federasi serikat buruh, sebuah alternatif sayap kiri dari CGT—federasi serikat buruh yang kemudian menjadi dominan. Pembentukan CUT kemudian dimanfaatkan oleh grup sayap kanan PT untuk melepaskan hubungan organisasional (langsung) yang dimiliki PT kepada gerakan buruh, mendelegasikan peran “pengorganisasian buruh” pada CUT dan memprioritaskan pembangunan sebuah mesin elektoral.
Dari 1985-86, sel basis (cabang) dari PT, baik yang mengorganisir berdasarkan basis sektoral maupun basis teritorial, mulai menghilang. Lebih parah lagi, orang-orang yang mendorong agar PT tetap mempertahankan (setidaknya) sejumlah tangannya di serikat-serikat buruh—satu struktur internal partai untuk mengorganisir kerja gerakan buruhnya—dapat ditundukkan oleh oleh Lula dan mayoritas PT.
Tidak hanya gagal memberikan kejelasan kepemimpinan ideologi dalam tubuh CUT, PT juga bertanggung jawab terhadap semakin bergesernya CUT ke kanan. Pergeseran tersebut ditegaskan dan diperdalam melalui keputusan dalam Kongres CUT tahun 1988 yang, untuk selanjutnya, hanya mengakui delegasi dari serikat yang telah mapan di tiap tempat kerjanya. Padahal, sebelum perubahan aturan tersebut, bagian penting dari perkembangan CUT, sebagai federasi yang militan dan independen, adalah pengakuannya (sebagai delegasi kongres) terhadap aktivis-aktivis buruh (yang langsung datang) dari pabrik-pabrik.
Saat PT kian terpisah dari basis gerakan buruh, kelompok kiri dalam partai semakin hanya berkutat pada upaya membedakan dirinya dengan kelompok kanan melalui pernyataan-pernyataan perbedaan programatik belaka, tanpa upaya menghasilkan alternatif kepemimpinan yang selayaknya. Kepemimpinan praktis kelompok kiri, paling tidak dalam gerakan buruh, dipindahkan ke dalam birokrasi CUT.
Di sektor-sektor lain, tidak ada kemampuan untuk menciptakan kutub alternatif (kaum kiri), dengan satu kekecualian pada MST (Gerakan Kaum tak Bertanah) yang mengorganisir petani tak bertanah. MST berlanjut menjadi satu-satunya kutub alternatif kepemimpinan basis massa sayap kiri setelah kebangkrutan PT.
Saat PT semakin sukses sebagai formasi elektoral, perjuangan kaum kiri vs kanan dalam PT semakin dibebani oleh nuansa elektoral—pertempurannya berkisar pada “kebijakan” dan pos-pos pemerintah. Ketika sayap kanan dan kiri administrasi PT menjalankan kota dan pemerintahan negara bagian, faksi “Lula” dalam PT hanya menonton, semakin menumpuk pengalaman buruk dan baik—belajar dari kebijakan oportunis dan aliansi-aliansi dengan kaum kanan (contoh: administrasi PT di kota Ribeirao Preto di Sao Paolo), dan dari mekanisme “partisipasi buruh” yang dibangun oleh kaum kiri (contoh: kota Porto Alegre dan Rio Grande del Sul). (JJ)
(bersambung)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 1)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 2)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 4)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 5)