(bagian 4, bersambung)
Proyek terakhir dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pemerintah PT untuk mendemobilisasi (menghentikan pengerahan massa) dan mengkooptasi (mencaplok) gerakan rakyat. Dalam soal program kerja “pengangaran partisipatif (participatory budgeting)”, sebagai contoh, mula-mula diperkenalkan oleh sayap kiri pemerintah PT di kota Porto Alegre 14 tahun lalu. Namun, meskipun kepentingan “demokratiknya” kuat, kenyataannya anggaran negara bagian terkendala dengan batasan pemerintah federal, sehingga aspek “partisipatif” pendanaan tersebut hanyalah relevan bagi sejumlah kecil anggaran tingkat kotamadya.
Hal tersebut membuat seluruh proses menjadi rentan, yang lalu dimanfaatkan sebagai percontohan bagi disiplin administratif, kepedulian dan enerji namun, kemudian, tidak lagi bertumpu pada gerakan dan aksi massa, namun pada lobby pemerintah. Tidak mengejutkan jika Bank Dunia pun ikut mengiklankan “pengangaran partisipatif” dan, di tahun 2000, menurut Bank Dunia, 143 kotamadya di Brazil telah menerapkan “pengangaran partisipatif” serta, di antara yang 143, 67, merupakan administrasi kanan-tengah non PT.
Menindas Perbedaan
Pemerintah federal PT sekarang tengah mengumpulkan seluruh pengalaman tersebut untuk mencaplok dan mendemobilisasi (menghentikan pengerahan massa) gerakan sosial, mengkombinasikan antara penghargaan dan hukuman/pentungan untuk menindas oposisi terhadap program-program neoliberalnya, di dalam maupun di luar partai.
Pada akhir Mei, 2003, pengambilan suara dalam pimpinan nasional PT menghasilkan 13 banding 7 untuk mengajukan tiga anggota parlemen dari sayap kiri partai—Heloisa Helena dari Tendensi Demokratik Sosialis, Luciana Genro dari Tendensi Gerakan Kiri Sosialis, dan Joao Batista de Araujo dari Aliran Buruh Sosialis—ke komisi kedisiplinan (Komisi Etik) atas sikapnya yang menolak secara terbuka berbagai proposal pemerintah PT.
Setelah itu, Genro dan anggota parlemen lainnya, Joao Fontes, diskors dari kursi parlemen PT karena membagikan video (keluaran tahun 1987) yang menunjukkan sosok Lula tengah mencela reformasi pensiun yang saat ini justru disanjung-sanjungnya. Para anggota parlemen lainnya juga dikeluarkan dari komisi-komisi parlemen tempat mereka sebelumnya bertugas.
Taktik keras yang dipakai oleh pimpinan PT bergantung pada persekutuannya dengan partai-partai sayap kanan, kelompok-kelompok agama dan petinggi politik, yang menguatkan tangannya untuk (secara publik) mengisolasi (menyingkirkan) kaum kiri dalam partai dan mendiskreditkan (menjelek-jelekkan) gerakan rakyat yang menentang kebijakan neoliberal pemerintah.
Kepemimpinan PT bertekad maju sejauh mungkin untuk mewujudkan persekutuan tersebut dan tetap memerintah. Di akhir Februari, 2003, salah satu kawan sayap kanannya—Senator Antonio Carlos de Magallaes—terbukti telah menyadap telepon paling tidak 200 orang anggota parlemen dan tokoh politik lainnya. Meskipun banyak anggota parlemen menuntut adanya dengar pendapat Kongres soal skandal tersebut, PT memerintahkan para anggota parlemennya untuk menolak segala bentuk penyelidikan oleh Kongres.
Sayap kanan PT memanfaatkan segenap kekuatan dan pengaruh negara serta kapitalis besar demi memenangkan agendanya. Sayap kiri PT, di sisi lain, membatasi dirinya hanya pada kritisisme ‘internal” partai, dan atas loyalitasnya dihadiahi pos-pos marginal dalam pemerintahan. Paling parah, mereka dihadiahi pos yang justru harus membela kegagalan pemerintah, contohnya Kementrian Pembangunan Agraria, yang sekarang dipegang oleh Miguel Rosetto dari Tendensi DS sebagai menterinya. Reformasi agraria memang telah lama jadi kegagalan pemerintah PT.
(bersambung)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 1)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 2)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 3)
Pemerintahan Partai Buruh Yang Anti Buruh (bagian 5)