Pemogokan buruh

buruh tekstil 1950
Buruh di perusahaan cetak, Bandung, Jawa Barat Sumber: Tanah Air Kita, The Hague/ Bandung: W.van Hoeve, Ltd. ,1950, hal. 278. Fotografer: L.H. Muis

Oleh: Jafar Suryomenggolo*)
Sampai di penghujung akhir tahun ini, kita mungkin akan mengingat aksi Mogok Nasional 2015. Kaum buruh melakukan perlawanan kolektif lewat Mogok Nasional ini. Sementara, pengusaha tidak malu-malu juga mengaku rugi akibat Mogok Nasional. (lihat tautan: Pengusaha Klaim Rugi Rp500 M Karena Mogok Nasional, FSEDAR: Itu Hanya untuk Menakuti Buruh)

Bagi kaum buruh, aksi Mogok Nasional ini memang masih jauh dari sempurna. Mesti diakui pula, tujuan guna menolak PP no 78/ 2015 masih belum tercapai.

Namun begitu, buruh merasa telah mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahannya. Semampunya, dengan segala keterbatasannya.

Proses belajar-ulang

Mogok Nasional 2015 ini memang bukan yang terbesar dan terhebat. Sejak tahun 1998, buruh Indonesia telah dijamin haknya untuk melancarkan mogok. Sejak itu pula buruh Indonesia mulai belajar (dari awal lagi!) arti pemogokan dan bagaimana melancarkan pemogokan.

Proses belajar-ulang ini penting bagi kaum buruh. Maksudnya, agar buruh benar-benar mampu dan menguasai betul strategi pemogokan. Hal ini mengingat, selama masa Orde Ba(r)u buruh dilarang mogok. Jadi, kaum buruh perlu melihat ulang pengalaman-pengalaman pemogokan yang pernah ada sebelumnya.

Tentu ini semua agar kaum buruh tidak mengulang kesalahan yang sama, terjebak dalam perangkap majikan (dan juga, negara!). Agar, buruh bisa memenangkan tuntutannya. Karena itu pula, dengan belajar-ulang maka mogok bisa benar-benar menjadi senjata pamungkas (bukan senjata obralan!).

Satu cara dalam proses belajar-ulang itu adalah lewat pengalaman sejarah. Kiranya, kita punya cukup pengalaman yang mumpuni. Bisa menjadi bahan yang berguna di masa sekarang ini.

Pengalaman sejarah

Sepanjang masa Orde Ba(r)u, buruh memang dilarang mogok. Namun, ini bukan berarti kaum buruh sepenuhnya tunduk dan manut.

Sepanjang tahun 1980-an sampai akhir 1998, kaum buruh kerap melakukan aksi protes. Buruh menghentikan mesin, tidak masuk kerja, duduk-duduk di halaman pabrik. Di dalam kebanyakan aksi itu, ada satu-dua buruh yang berteriak mengorganisir. Tapi, selebihnya menjadi pendengar setia bak mendapat tontotan hiburan.

Biasanya aksi protes ini berakhir dalam 1 hari saja. Sebabnya, pihak majikan langsung memanggil tentara (atau polisi) untuk memaksa buruh kembali masuk ke pabrik dan bekerja seperti semula.

Tentara dan polisi bertindak ibarat centeng tukang pukul majikan. Bukannya melindungi warga, tapi malah menjadi palu godam yang menghantam buruh. Mereka tiada segan memberangus aksi, dan menangkap buruh yang terlibat (atau, dituduh terlibat). Tak hanya intimidasi, tapi juga penjara. Tak jarang juga, mereka mengangkat diri menjadi malaikat pencabut nyawa.

Meski menghadapi situasi demikian, kaum buruh tidak gentar. Dalam keterbatasan dan keterikatan, aksi protes menjadi satu-satunya cara bagi kaum buruh dalam mengungkapkan kegelisahannya. Aksi protes adalah lahan ungkapan ekspresi kaum buruh.

Aksi protes ini tentu tidak sama dengan mogok. Aksi protes seringnya dilakukan secara spontan. Juga, tanpa rencana. Terlebih pula, minus strategi. Akibatnya, tidak mampu berlangsung lama dan tentu, mudah dipadamkan.

Pengalaman aksi protes selama masa Orde Ba(r)u memang memberikan banyak contoh keberanian kaum buruh. Sayangnya, keberanian saja tidak cukup.

Keberanian perlu dilengkapi dengan ketangguhan. Juga, dengan strategi yang mumpuni. Dari mana bisa kita pelajari hal-hal ini?

Pemogokan Delanggu

Di tanggal 19 Mei 1948, sejumlah buruh pabrik dan petani kapas di daerah Delanggu (dekat Solo) berhenti bekerja dan mulai melakukan mogok. Mereka menuntut pembayaran upah (yang selama ini tertunda) dan juga, pembagian bahan pakaian. Maklum, saat itu masih zaman perang sehingga bahan pakaian sangat sulit diperoleh.

Aksi mereka kemudian diikuti oleh banyak buruh tani di daerah sekitar. Tuntutan mereka juga sama. Pemerintah cukup kaget mendengar aksi mogok para buruh ini. Mereka tidak menyangka para buruh bisa dan mampu melakukan pemogokan. Upaya mediasi oleh pemerintah baru dimulai 1 Juni 1948.

Jadi, selama 12 hari lamanya buruh melakukan mogok. Hampir dua minggu penuh. Bisa jadi, ini adalah pemogokan terlama yang pernah ada dalam sejarah buruh. Kiranya juga, tidak ada pemogokan buruh di Asia yang bisa bertahan lebih lama dari itu. Hingga hari ini pun.

Satu kunci utama dari pemogokan Delanggu adalah derasnya dukungan dari seluruh gerakan buruh. Berbagai serikat buruh, dari berbagai lapangan industri, mendukung pemogokan buruh Delanggu.

Di sana-sini terkumpul bantuan dan dana solidaritas bagi buruh Delanggu. Misalnya, Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) mengirimkan 9 ton beras bagi buruh Delanggu. SBKA juga mengumpulkan sumbangan dana solidaritas, yang jumlahnya tidak kecil.

Jika strategi adalah otak pemogokan buruh, maka solidaritas adalah otot persatuan yang mengikatnya.

*) Penulis adalah pemerhati perburuhan.

Tinggalkan Balasan