Pemuda Pancasila (PP) menebar ancaman dan kekerasan dalam aksi buruh Voksel Elektrik, Kabupaten Bogor. Tak cukup melakukan aksi kekerasan, PP juga melakukan sweeping hingga ke rumah-rumah buruh. Tujuan mereka jelas: membela kepentingan pengusaha yang berlawanan dengan tuntutan buruh yang melakukan pemogokan. Sepak terjangnya ini bukan hal baru. PP memiliki sejarah yang sudah cukup panjang, berkiprah sejak tahun 1959.

Pada masa Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan dktator Soeharto, banyak preman lokal yan dimobilisasi untuk masuk ormas PP demi mematahkan mogok dan demo kelompok oposisi Soeharto. Massa PP juga dikumpulkan saat rapat-rapat umum pro kekuasaan Orde Baru (Golkar), terutama saat menjelang pemilihan umum. Hal tersebut dijelaskan dalam skripsi Abdul Arif yang mengusung judul Pemuda Pancasila Dan Rezim Represif Orba.
Berangkat dari kondisi itu, pemimpin PP memanfaatkannya untuk mendapatkan imbalan, pekerjaan dan kontrak dari pemerintah. Bahkan memafaatkan relasinya dengan militer dan pemerintah untuk memperoleh fasilitas. Dalam hal ini disebutkan PP kerap menggunakan kekerasan untuk membangun mesin politik di semua tingkat pemerintah maupun partai.
Selama masa Orba PP mengembangkan tiga prinsip, yaitu otot yang artinya kuat agar disegani orang, omong yang artinya pandai bicara agar tidak diperdaya orang dan otak yang artinya cerdas agar tidak mudah ditipu orang.
Setelah melakukan tiga prinsip tersebut, PP merubah seragamnya dari jingga polos menjadi orange loreng untuk menampilkan kekuatan PP.
PP didirikan pada 28 Oktober 1959 oleh Ikatan Pendukung Kemerdekaan Idonesia (IPKI). PP didirikan untuk melawan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya yang pada waktu itu merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia.
Dalam The Act of Killing (Jagal) karya Joshua Oppenheimer menceritakan bagaimana sosok Anwar Congo ketua PP di Medan terlibat dalam pembantaian warga yang dituduh komunis. Dalam membantai, Anwar kerap menggunakan kawat karena baginya pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa banyak ceceran darah. Anwar tidak menyukai bau dan ceceran darah.
Pembuatan film jagal berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003, ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai pembunuh kejam di Sumatera Utara.
Mengenai IPKI, IPKI adalah sayap politik dari para petinggi militer, seperti beberapa perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) Kolonel Abdul Haris Nasution, Kolonel I Gatot Subroto, Kolonel TNI Azis Saleh, Lukas Kustaryo, Ratu Aminah, dll.
Pada tahun 1971 IPKI ikut dalam pemilihan umum dan menghimbau PP agar memberikan aspirasi, namun upaya ini tidak membuahkan hasil sehingga pada 1973 IPKI melebur ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI).PP menyatakan keluar dari IPKI dan menyalurkan aspirasinya untuk partai Golongan Karya (Golkar).
Di tahun 1978, kader-kader PP sepakat menunjuk KRMH Japto S Soerjosoermarno sebagai pejabat sementara PP dan sampai pada Musyawarah Besar (Mubes) III di Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta tahun 1981, nama Japto kian dipercaya kader-kader PP seluruh Indonesia untuk menjadi ketua definitif.
Di bawah pimpinan Japto, untuk memenuhi kebutuhan faktual maka dibentuklah kelompok-kelompok atau golongan-golongan berlabel pancasila seperti Sarjana Pancasila, Mahasiswa Pancasila dll. Namun secara umum anggota PP direkrut dari penjaga keamanan bioskop, pasar-pasar, dan parkiran liar, karena citra awal PP menggunakan kekerasan di dalam melakukan kegiatannya.
Menengok sejarah panjang sejak terbentuknya PP hingga aktivitasnya dalam mengamankan rezim Soeharto pada masa itu, maka tidak mengherankan apabila sampai hari ini jiwa premanisme terus tumbuh berkembang di dalam tubuh ormas PP. Bahkan, petinggi partai Golkar Jusuf Kalla dalam film Jagal mengatakan Indonesia membutuhkan keberadaan preman.
Pingback: Dari Gelandangan, Banditisme Hingga Premanisme – Jurnalisme Sejarah