Penangguhan Upah Menyebabkan Persaingan Tidak Adil

Oleh: Sarinah*

Pasca kenaikan upah, banyak pengusaha yang berniat menangguhkannya. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat siap memfasilitasi upaya penangguhan tersebut. Ketua Apindo Jabar Dedy Widjaja memprediksi akan banyak perusahaan yang meminta penangguhan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) 2014 (Bisnis.com, 21/11-2013).

Pengusaha kerap melontarkan alasan klasik yakni jika upah terlalu tinggi, maka perusahaan bisa bangkrut. Upah tinggi dianggap meningkatkan biaya produksi. Mayoritas buruh masih percaya dengan alasan ini sehingga banyak yang bisa menerimanya. Banyak buruh yang belum mengetahui logika ekonomi yang sebenarnya.

Tahun 2008, 50 perusahaan Garmen di Jakarta Utara bangkrut karena kalah bersaing dan terkena imbas dari krisis keuangan global (Kompas, 18/11-2008). Bagaimana menjelaskan bahwa pada saat itu belum marak demo buruh dan upah belumlah setinggi sekarang?

Artinya, ada penyebab lain dibalik kebangkrutan perusahaan, yakni persaingan pasar. Perusahaan-perusahaan yang kalah bersaing jelas sekali memang bisa mengalami kebangkrutan. Kalah saing di pasar berarti barang-barangnya kurang laku atau tidak laku. Secara teknis, bukankah berarti perusahaan bangkrut salah satunya penyebabnya adalah karena kesalahan pemasaran (marketing)? Bukan buruh-buruh bagian produksi!

Kenaikan Upah Buruh
Sebagai gambaran, rata-rata biaya produksi (non upah) perusahaan atau constant capital di negeri-negeri ASEAN sebesar 30 %, upah plus tunjangan-tunjangan (wages and benefits) atau variable capital sebesar 6 %, pajak dan biaya siluman 30 % dan keuntungan pengusaha (profits) 30-40 % dari penjualan. Bahkan, kabarnya keuntungan pengusaha bisa meningkat menjadi  46,5 persen jika produktivitas ditingkatkan, menurut Sembada Pratama School of Supply Chain and Logistics.

Jika upah buruh naik 50 persen, paling maksimal upah buruh meningkat menjadi 9 % dari penjualan. Sebagai catatan, bahkan keuntungan pengusaha rata-rata naik 10-15 % per tahun di luar keuntungan 30-34 % tadi. Jadi, keuntungan pengusaha justru bertambah sekitar 7-9 % setelah dikurangi kenaikan upah.

Jika sudah dilontarkan alasan seperti ini, dalih ekonomi yang lebih jujur bisa mengatakan “kenaikan upah membuat uang tersebut tidak bisa ditanamkan di inovasi untuk efisiensi yang membuat pengusaha bisa menang di pasar, padahal perusahaan bisa bangkrut jika kalah saing.”

Untuk meningkatkan keuntungan, pertama, biasanya pengusaha melakukan inovasi dengan menggunakan mesin-mesin canggih agar hasil produksi semakin banyak (massal), kualitas tetap atau bahkan lebih bagus dan harganya makin murah. Tentunya barang paling murah dan berkualitas bagus bisa menang dalam persaingan pasar, terutama pada produksejenis.

Kedua, produktivitas buruh ditingkatkan dengan lembur, kejar target dan semacamnya agar biaya produksi per unitnya lebih rendah. Ketimbang menambah karyawan baru yang menambah biaya pula, pengusaha lebih senang mengambil kebijakan lembur yang memberikan tambahan pada upah buruh. Jika mempekerjakan buruh baru, pengusaha harus membayar biaya lain dari upah, seperti jaminan kesehatan.

Meski sebetulnya lembur itu mengurangi kesempatan kerja orang lain, karena satu orang buruh mengambil jam kerja terlalu banyak untuk dirinya sendiri. Upah murah cenderung membuat buruh banyak mengambil lembur. Jadi tidak seperti anggapan yang menyebutkan upah tinggi bisa menciptakan pengangguran, justru sebaliknya, upah murahlah yang melanggengkan pengangguran.

Kenaikan upah rata-rata, dalam hal ini upah minimum, tidak membangkrutkan perusahaan, karena semua perusahaan menanggung beban kenaikan upah yang sama. Begitu juga ketika semua perusahaan tidak menggunakan outsourcing dan kontrak, maka tidak ada perusahaan yang terkena imbas kerugian.

Kenaikan upah tidak akan mengganggu biaya produksi karena biaya produksi  (non upah) sudah dianggarkan dan tidak akan diganggu gugat, agar bisa berproduksi berikutnya. Jadi, kenaikan upah itu hanya mengurangi keuntungan, walaupun ternyata dalam realita, keuntungan pengusaha meningkat lebih besar ketimbang upah ril buruh yang justru turun sekitar 50 % dalam 16 tahun terakhir.

Penelitan Kelompok Buruh Belajar Ekonomi dan Politik menemukan rata-rata upah buruh Bekasi dan sekitarnya hanya 1-3 % saja dari penjualan. Jika perusahaan mengikuti ketentuan normatif sekalipun, maka upah buruh tidak akan lebih dari 6 %. Pengusaha terlalu rakus dalam mengambil keuntungan, super eksploitatif!

Perdebatan “perusahaan bangkrut atau tidak jika upah naik” bisa diakhiri jika pemerintah mengeluarkan payung hukum yang membolehkan serikat buruh membuka buku keuangan perusahaan.

Tidak Konsisten pada Persaingan Bebas
Para pengusaha pasti sudah tidak asing lagi dengan Adam Smith, ekonom liberalisme klasik yang dalam bukunya The Wealth of Nations mengharamkan negara ikut campur dalam ekonomi karena dianggap dapat mendistorsi pasar. Pandangan Smith tetap dipakai oleh kapitalisme dewasa ini. Bagi buruh, pandangan Smith ini tidak cocok, karena buruh selalu membutuhkan negara untuk melindungi hak-haknya yang secara sosiologis terancam oleh kapitalis (pemilik modal).

Dalam konteks penangguhan upah, pemerintah yang mengizinkan penangguhan berarti “melindungi” perusahaan tertentu.

Jika ada satu perusahaan yang berhasil menangguhkan upah, maka berarti perusahaan tersebut memperoleh kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kemudian, keuntungan tersebut mungkin sekali dialokasikan untuk upaya-upaya pemenangan pasar, seperti pembelian mesin-mesin baru, inovasi dan bahkan investasi baru.

Sementara, perusahaan yang tidak menangguhkan upah tidak bisa mendapatkan kesempatan keuntungan yang sama, sehingga bisa kalah saing dan paling buruk bisa bangkrut. Persaingan ini menjadi lebih keras jika produknya sejenis, apalagi di kalangan perusahaan vendor yang menjual barangnya pada perusahaan customer.

Gagasan ini akan dibantah dengan mengatakan bahwa perusahaan yang menangguhkan upah adalah perusahaan-perusahaan yang tidak mampu. Syarat penangguhan upah adalah mengalami kerugian dua tahun berturut-turut, disetujui oleh serikat buruh, dan keuangan perusahaan diaudit oleh akuntan publik.

Tapi ingat, izin penangguhan upah yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan untuk 257 perusahaan pada 18 Januari 2013, kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung untuk 209 perusahaan sembilan bulan kemudian, pada 29 September 2013. Begitu  juga izin penangguhan upah yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk 40 perusahaan kemudian dikalahkan di PTUN untuk 7 perusahaan.

Artinya, 81,3 % kasus penangguhan upah perusahaan di Jawa Barat tidak sah. Hal ini mengindikasikan ada kesalahan di: pertama, pihak perusahaan sebagai pihak yang mengajukan dan memberikan data-data keuangan perusahaan. Kedua, pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan yang bisa diindikasikan menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). Ketiga, ada kongkalikong di antara pemerintah dan pengusaha. Ketiga kemungkinan ini mestinya diusut oleh aparat penegak hukum.

Penangguhan upah mencerminkan kapitalis tidak sungguh-sungguh dengan menerapkan persaingan bebas di antara mereka. Tak ada yang konsisten bagi kapitalis, selain mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, apapun caranya.
***

Bekasi, 18 Desember 2013
*Aktif di Kelompok Buruh Belajar Ekonomi Politik, jurnalis warga.

Tinggalkan Balasan