Solidaritas.net, Jakarta – Pengacara Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino, Fredich Yunandi menilai para pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) menganut paham komunis (PKI). Penilaian itu didasarkan Fredich pada kehendak pekerja yang ingin mengetahui penjualan saham, menurutnya hanya pekerja yang berpaham komunislah yang bertindak sebagai pemilik, bukan sebagai pekerja.
“Tidak ada wewenang Serikat Pekerja JICT untuk mengetahui soal urusan penjualan saham. Yang berhak mengetahui soal penjualan itu hanya pemegang saham. Jelas bukan kasar, karena hanya komunis yang mempunyai pedoman kerja bahwa buruh adalah pemilik. Tidak ada, buruh adalah buruh,” tegasnya, Rabu (30/9/2015), dilansir dari Merdeka.com.
Diketahui beberapa waktu yang lalu pekerja JICT menentang keputusan PT Pelindo II yang berupaya memperpanjang konsesi JICT kepada perusahaan asal Hongkong, Hutchinson Port Holdings (HPH). Keputusan perpanjangan konsesi tersebut ditentang oleh Serikat Pekerja JICT yang merasa yakin pengelolaan terminal bisa dilakukan tanpa campur tangan asing.
SP JICT juga sempat melaporkan perusahaan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 22 September lalu karena diduga melanggar UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran dan juga proses yang menurutnya tidak transparan.
Seperti dilansir Merdeka.com, menurut Ketua Serikat Pekerja JICT, Nova Hakim, dugaan pelanggaran itu menyangkut perpanjangan konsesi, yakni tidak ada tender terbuka dan soal harga penjualan. Dia mengungkapkan, harga penjualan JICT tahun 2015 hanya USD 215 juta atau lebih rendah dari tahun 1999 saat pertama kali diprivatisasi yakni USD 243 juta.
Menurutnya, seharusnya Direktur Utama Pelindo II RJ Lino menempatkan kepentingan nasional sebesar-besarnya dalam mengambil keputusan strategis. Bukan malah bagi-bagi untung dengan Hong Kong di gerbang kedaulatan ekonomi nasional.
“Sesungguhnya RJ Lino telah mengkerdilkan anak bangsa dengan perpanjang JICT ke HPH Hong Kong. Padahal selama 16 tahun dikelola putra putri bangsa, JICT telah menjelma menjadi pelabuhan petikemas terbaik di Indonesia dan Asia. Secara kemampuan SDM dan teknologi sangatlah memadai. Namun Lino menjual aset emas bangsa begitu murah kepada asing. Bayangkan, saat ini JICT dijual USD 215 juta lebih murah ketimbang tahun 1999 sebesar USD 243 juta. Harga jual saat ini pun setara dengan keuntungan JICT hanya dalam 2 tahun,” katanya.
Nova menambahkan, demi ambisinya, Lino telah mengabaikan 4 surat menteri yang mengharuskannya tunduk kepada UU pelayaran dengan meminta izin konsesi kepada Kemenhub sebelum perpanjang dengan asing.
“Lino telah berupaya perpanjang konsesi JICT sejak 2012 dengan hanya bermodal opini hukum Jamdatun (Jaksa Agung Muda Tata Negara) untuk dilawan dengan UU Pelayaran,” tandasnya.