Solidaritas.net – Bahasa termasuk ke dalam ranah budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia, yang fungsinya yakni untuk berkomunikasi atau berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Bahasa merupakan salah satu unsur yang memiliki peranan yang cukup penting dalam keseharian rakyat. Melalui bahasa seseorang dapat dengan mudah diketahui karakternya bahkan pandangan politiknya.

Di dalam bahasa Indonesia ada yang dinamakan dengan gaya bahasa eufemisme. Eufemisme megandung ungkapan yang bermaksud untuk tidak menyinggung perasaan atau ungkapan halus untuk menggantikan acuan yang dirasakan menghina, kasar, atau tidak sopan. Maksudnya mungkin ingin menggunakan kata-kata dengan arti atau maksud yang baik (namun belum tentu banar). Eufemisme juga kerap dimaknai sebagai ungkapan yang bersifat tidak berterus terang, tidak demokratis. Permulaannya, gaya bahasa eufemisme ini sebenarnya hanya digunakan pada tataran adat budaya dan istiadat dalam kehidupan rakyat yang menjunjung tinggi penggunaan bahasa yang komunikatif. Namun, seiring berjalannya waktu penggunaan eufemisme ini cenderung berlebihan yang berujung kepada pergeseran makna.
Selain itu, gaya bahasa eufemisme juga sebenarnya dapat mengaburkan makna sehingga makna semula tidak terwakili lagi oleh bentuk atau konsep yang menggantikannya. Pergeseran makna ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap penggunaan bahasa. Misal kata buruh yang kerap digunakan ketika zaman Soekarno yang bermakna sebagai manusia yang rentan mengalami penghisapan entah itu dalam bentuk yang abstrak maupun dalam bentuk yang konkret, namun semasa Orde Baru bahkan sampai sekarang, kata buruh mengalami pengaburan makna menjadi kata karyawan atau pekerja. Menurut Arief Budiman di film garapan Danial Indrakusuma dkk yang berjudul Kado Buat Rakyat Indonesia mengatakan: “semua orang yang berkarya itu karyawan. Orang kerja di pabrik/kantor menghasilkan karya, itu salah satu yang disebut karyawan, seniman menghasilkan karya seni, dan itu juga karyawan.” ucapnya dengan penuh percaya diri.
Pengaburan makna semacam itu masih dapat dengan mudah ditemukan dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan buruh sendiri yang banyak di antaranya belum mengetaui bahwa penggunaan gaya bahasa eufemisme ini dapat memegaruhi karakter kepribadiannya sebagai manusia yang kesehariannya dihisap kapitalis. Sehingga jika dilihat dari segi bahasa, pemakaian gaya bahasa eufemisme ini juga kerap dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk meredam gerakan kaum buruh yang hak-haknya direngggut untuk kepentingannya sendiri dan meraup untung sebanyak-banyaknya. Buruh dijadikan obyek kebiadaban yang tidak lain subyeknya yakni kapitalis.
Gaya bahasa eufemisme tidak hanya dimanfaatkan oleh para elit politik serta kalangan birokrat saja, melainkan di kalangan kapitalis atau elit serikat buruh pun kerap memanfaatkan eufemisme ini untuk tujuan mengaburkan realitas sosial yang terjadi di lingkungan buruh.
Tujuan utama eufemisme ini adalah untuk memperhalus bahasa oleh penuturnya dengan maksud untuk bersopan santun, beramah-tamah. Namun, sesungguhnya bahasa Indonesia itu tidak ada tingkatan seperti halnya bahasa-bahasa daerah (bahasa Jawa; ngoko, madya, dan krama. Bahasa Sunda; basa halus, basa loma, basa kasar, dan lain sebagainya) yang sering dimanfaatkan penggunanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya.
Contoh eufemisme selanjutnya yakni kata perusahaan atau biasa di kalangan buruh sendiri dikenal dengan istilah PT (singkatan dari Perseroan Terbatas). Kata pabrik seolah-olah mengandung makna yang kasar.
Pada masa Orde Baru bahkan sampai sekarang kata kelaparan di-eufemisme-kan menjadi frasa kekurangan pangan, kata rakyat di-eufemisme-kan menjadi kata masyarakat, kata ditangkap di-eufemisme-kan menjadi kata diamankan, frasa kenaikan harga di- eufemisme-kan menjadi frasa penyesuaian harga, dipecat di-eufemisme-kan menjadi dirumahkan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kebutuhan pokok di-eufemisme-kan menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL), gaji murah di-eufemisme-kan menjadi upah minimum, dan lain sebagainya.