Penggusuran di Jakarta Gunakan Pola Sistemik

0

Jakarta- Pemprov DKI menggunakan sejumlah pola sistemik untuk membenarkan kebijakan penggusuran terhadap rakyat kecil.
Penggusuran di Jakarta seperti di Kampung Pulo, Kalijodo, Kampung Aquarium Luar Batang, dan Bukit Duri, Jakarta sepanjang tahun 2015-2016 juga menggunakan pola sistemik itu.

Penggusuran oleh Pemprov DKI Jakarta (Foto: Nusanews.com)

Aktivis sekaligus pengajar Sandyawan Sumardi mengatakan pola sistemik itu seperti Gubernur DKI didukung media-media mainstream dan industri-industri media pendukung  Cagub Petahana.

“Tanpa peduli betapa warga yang dituduh menduduki tanah negara itu de facto punya atau bisa menunjukkan bukti surat kepemilikan tanah seperti: verponding Indonesia, girik, AJB, petuk pajak bumi, bahkan banyak yang sudah ditingkatkan melalui program prona dan larasita, menjadi sertifikat penuh,” tutur Sandyawan dalam siaran persnya, Rabu(19/10/2016).

Pria yang akrab disapa Romo itu menambahkan penggusuran semakin dibenarkan dengan pernyataan tanah milik Negara yang menimbulkan stigma bahwa penduduk yang menempatinya adalah penduduk liar dan ilegal. Namun, di saat yang bersamaan dikemukakan pula tujuan dari pembangunan dan beberapa alasan mendesak lainnya.

Selain itu, kata Romo, Pemprov DKI menyiagakan landasan hukum sekenanya untuk alasan pembenar kebijakan penggusuran dengan menggunakan Undang-undang Ketertiban Umum (Tibum), yaitu masalah kepemilikan IMB, dan “diskresi”.

Bahkan akan membiayai dengan dana non budgeter dari pengembang atau CSR (Corporate Social Responsibility) dan mengerahkan ribuan pasukan aparat gabungan satpol PP, polisi, dan militer/TNI untuk melakukan penggusuran paksa.

Sandyawan menilai, penggusuran bukanlah semata untuk memperindah atau memajukan kota dengan meminggirkan “warga tak taat hukum” atau “the great unwashed” atau menggusur perkampungan yang dianggap kumuh.  Kata dia, segala upaya di balik kebijakan penggusuran pada dasarnya adalah politik tanah.

Pemprov DKI mengambil alih lahan yang digarap dan dijadikan rumah maupun tempat usaha oleh rakyat biasa, demi perputaran modal, demi surplus dari akumulasi kapital.

“Ia selalu merupakan upaya “pembersihan” yang akan diikuti oleh harga properti di sekitarnya yang akan naik, dan semakin harga di situ naik, semakin kecil kesempatan warga miskin untuk bertahan di wilayah strategis di kota,” tuturnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *