Solidaritas.Net, Mojokerto—Pengusaha Kecap, Petis dan Saos bermerek Ratu dinilai melakukan sejumlah pelanggaran hak normatif karyawan, seperti hak upah minimum, hak beribadah bahkan hak ke kamar kecil dibatasi dengan menggunakan kupon. Hal ini disampaikan oleh Pimpinan pusat Federasi Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (PP FPBI), Hari Tjahyono dkk dalam kronologis kejadian bernomor 97/II-Eks/PP FPPBI/IX/2013.
Dalam pernyataan tersebut, PP FPBI juga menyampaikan pelanggaran atas hak berserikat dan mogok buruh. Pasalnya, pihak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak di saat buruh sedang mogok secara sah pada 30 Juli-1 Agustus 2013.
Puluhan buruh bertahan mendirikan tenda di depan pabrik. Pihak perusahaan berusaha menggantikan buruh yang mogok dengan mendatangkan buruh buruh. Upaya perusahaan tersebut dikawal oleh polisi. Sejumlah preman juga memaksa buruh untuk membubarkan diri.
“Namun sekitar dua minggu lalu, saat pihak pabrik akan mengganti tenaga kerja justru dikawal polisi. Padahal dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 144, pengusaha dilarang mengganti buruh yang mogok kerja dan memberikan sanksi apapun kepada buruh. Bahkan saat buruh diserang sejumlah preman, polisi tidak ada,” jelas Hari, pada Rabu (02/10) saat bersama buruh Kecap Ratu berdemo di Polres Mojokerto, dilansir dari beritajatim.com.
Buruh menuntut pihak kepolisian bersikap netral terhadap permasalahan buruh. Dalam aksi tersebut, seorang buruh perempuan bernama Sutika (45) berteriak histeris mencaci maki polisi yang dianggapnya tidak netral. Sutika pun jatuh pingsan.
Pengusaha Kecap Ratu disinyalir melakukan pidana kejahatan karena membayar upah di bawah upah minimum dan menghalang-halangi mogok kerja sah, yang diatur di dalam dalam pasal 90 dan 143 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
***
Foto: Seorang buruh perempuan pingsan saat berdemo di Mapolres Mojokerto (Kredit: beritajatim.com)