Pengusaha Siasati PKWT, Buruh Hilang Pesangon

0
Foto ilustrasi (kredit www.sritex.co.id)
Foto ilustrasi (kredit www.sritex.co.id)

Solidaritas.net, Jakarta – Banyak pengusaha menerapkan beragam cara untuk menyiasati pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga terkesan telah memenuhi ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.

Salah satunya adalah dengan “mengistirahatkan” buruh selama 1 bulan dan kemudian meminta buruh untuk datang bekerja kembali dengan membawa surat lamaran kerja yang baru.

Seperti yang dilakukan oleh PT Primajaya Pantes Garment, yang berkedudukan di Jalan Raya Semanan No. 27 Km 15 Kalideres, Jakarta Barat. Dalam persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Rachmayanti, dkk mengungkapkan siasat yang dilakukan pengusaha tersebut. Perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dilakukan berulang-ulang tersebut, bahkan telah berlangsung belasan tahun.

Bahkan dalam kasus yang menimpa Rachmayanti, dkk, tenggang waktu pembaruan PKWT hanya 1 sampai 2 minggu. Namun tanggal yang tertera dalam perjanjian dirubah, hingga seolah-olah telah terjadi tenggang waktu 30 hari. Dan saat Rachmayanti, dkk bekerja kembali, mereka menerima nomor induk yang baru.

Saat pengusaha tidak lagi memperpanjang PKWT, Rachmayanti, dkk melakukan protes dan menuntut agar pengusaha membayarkan uang pesangon. Sebab Rachmayanti, dkk menganggap bahwa berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang berlaku, seharusnya status PKWT terhadap mereka berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Tidak menemui kesepakatan dalam perundingan, Rachmayanti, dkk membawa persoalan ini ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jakarta Barat. Namun, mediasi yang dilakukan oleh Disnakertrans Jakarta Barat tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga dikeluarkanlah anjuran bagi kedua belah pihak.

Melalui surat anjuran nomor 2317/1.835 tertanggal 20 Desember 2013, Disnakertrans Jakarta Barat menganjurkan agar pengusaha membayarkan uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai pasal 156 ayat (4) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Disnakertrans Jakarta Barat juga mengeluarkan nota penetapan nomor 2322/-1.834.1/2013, yang isinya memerintahkan pengusaha untuk membayarkan kekurangan upah sesuai upah sektoral yang berlaku untuk industri garment.

Karena pengusaha tidak juga menanggapi surat anjuran maupun nota penetapan yang dikeluarkan oleh Disnakertrans Jakarta Barat, maka Rachmayanti, dkk mengajukan perkara ini ke PHI Jakarta. Dalam gugatannya, Rachmayanti, dkk menuntut pengusaha agar membayarkan pesangon sesuai anjuran Disnakertrans Jakarta Barat beserta kekurangan pembayaran upah sebagaimana tersebut dalam nota penetapan.

Namun dalam gugatan tersebut, Rachmayanti, dkk tidak meminta pembatalan PKWT untuk kemudian berubah menjadi PKWTT, sehingga Majelis Hakim PHI Jakarta melalui putusan nomor 04/PHI.G/ 2014/PN.JKT.PST. tertanggal 24 Juli 2014, menolak gugatan yang diajukan oleh Rachmanyanti, dkk. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim PHI Jakarta, menyatakan bahwa atas berakhirnya perjanjian kerja, buruh tidak memiliki hak atas pesangon.

Keberatan dengan putusan PHI Jakarta, Rachmayanti, dkk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Melalui putusan nomor 696 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tertanggal 12 Februari 2015, hanya memperbaiki putusan PHI Jakarta dengan memerintahkan pengusaha untuk membayarkan kekurangan upah sesuai upah sektoral yang berlaku terhadap Rachmayanti, dkk.

Sumber website Mahkamah Agung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *