Pengusaha yang Tak Kunjung Kabur

Oleh Roeslan

Kisah perjuangan buruh itu layaknya sinetron dengan narasi yang mudah ditebak. Para pemirsa sudah tahu kira-kira apa peran dari tiap-tiap aktor, apa yang akan mereka lakukan dan katakan. Dan mungkin pengulangan ini yang membuat sinetron begitu memukau, karena memang hidup kita terkukung dalam pengulangan-pengulangan.

Begitu juga perjuangan buruh, yang selama ratusan tahun skenarionya secara fundamental tidak pernah berubah. Ini karena memang buruh terkukung dalam penindasan yang juga belum berubah sejak kapitalis pertama membangun pabriknya yang pertama dan menggaji buruhnya yang pertama. Dengan belajar sejarah, tidak hanya sejarah perjuangan di Indonesia tetapi di seluruh dunia, dengan mudah buruh akan menemukan benang merah ini, yakni sebuah narasi “besar” yang aktor-aktor utamanya tidak pernah berubah.

Sehingga tidak mengejutkan kalau pengusaha selalu mengancam akan minggat kalau buruh menuntut upah layak, setidaknya tidak mengejutkan bagi mereka-mereka yang sudah sering menonton “sinetron” perjuangan kelas. Bagi buruh-buruh yang pertama kali berjuang, sering kali ancaman ini memang meresahkan, membuat mereka tidak yakin akan kebenaran perjuangan mereka, tidak yakin pada kekuatan mereka sendiri. Karena pada akhirnya inilah penindasan buruh yang sesungguhnya, yakni ancaman kelaparan kalau dipecat karena bukanlah mereka yang punya pabrik, bukanlah mereka yang punya modal. Sang pemilik modal, hanya dengan fakta bahwa dia lah yang punya modal, sudah menindas buruh di setiap detik keberadaannya. Ia mengendalikan nasib buruh hanya dengan kepemilikan modalnya.

Ancaman ini menjadi nyata hanya kalau buruh sendiri membuatnya menjadi nyata dengan rasa takutnya. Sejarah perjuangan – narasi “sinetron” buruh-kapital – membuktikan kalau keberanian dan persatuan buruh akan membuat ancaman minggat itu sekedar bualan kosong. Sementara, beberanian hanya akan datang kalau buruh paham ekonomi, paham politik, paham sejarah. Dengan pengetahuan datanglah keberanian.

Mengenai ancaman pengusaha yang akan lari – ancaman yang sering kita dengar dari Sofjan Wanandi dan Anton Supit – mungkin akan lebih baik kalau kita biarkan ahli ekonomi dari sebuah bank raksana yang menjawabnya. Kalau pemimpin buruh yang menjawabnya, nanti akan dikira bertendensius dan “berkepentingan”.

Seorang ekonom dari sebuah bank raksasa asal Inggris, Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, mengatakan bahwa “pengusaha tidak akan kabur meski upah buruh naik”. (Merdeka.com “4 Alasan yang bikin pengusaha tidak lari dari Indonesia”, 5/12/12) Belum lama ini, Kadin pun membantah pernyataan Sofyan Wanandi kalau banyak investor yang sudah kabur karena “ulah” buruh. Eric Sugandi mengatakan ada empat faktor yang membuat investor tidak kabur:

Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang asing lainnya yang masih terjaga. Yang dimaksud adalah nilai rupiah “masih terjaga” rendah, sehingga ekspor Indonesia itu murah dan diminati.

Kedua, pengusaha yang sudah lama berinvestasi di Indonesia telah menguasai transportasi dan distribusi. Saya tambahkan, ia juga telah melakukan banyak investasi untuk infrastruktur lainnya. Artinya, pengusaha tidak bisa seenaknya pindah lokasi karena ini memakan biaya besar.

Ketiga, “dia [pemilik modal] sudah menguasai pangsa pasar di Indonesia,” lanjut Sugandi. Melakukan relokasi pabrik bisa berarti kehilangan pasar, terutama pasar Indonesia yang besar.

Keempat, tingkat upah di Indonesia masih rendah. Ini sebenarnya adalah kenyataan yang menyedihkan. Akan lebih baik kalau para pengusaha ingin meninggalkan Indonesia karena upah Indonesia adalah yang tertinggi di Asia. Bukankah begitu?

Kalau boleh saya tambahkan, faktor kelima adalah situasi ekonomi dunia hari ini. Eropa dan AS sedang mengalami krisis, sehingga para pemilik modal sedang mencari-cari tempat dimana bisa mengekspor kapital mereka. Indonesia yang tumbuh 6%, sementara negara-negara Barat dan banyak negara lainnya mengalami kemandegan, adalah tujuan investasi yang menggiurkan. Pada kuartal kedua tahun ini, investasi asing naik 30 persen dibandingkan tahun lalu. Lalu pada kuartal ketiga, naik 22 persen. Kita bisa bandingkan dengan India juga. Pada kuartal kedua 2012, investasi asing ke Indonesia adalah sebesar 5.9 milyar dolar AS. Di India pada periode yang sama, investasi asing hanya sebesar 4.4 milar dolar AS, padahal India populasinya 5 kali lipat dari Indonesia dan ekonomi 2 kali lebih besar. (Reuters. “Direct foreign investment pours into Indonesia despite worries”, 22/10/12)

Inilah mengapa pengusaha tak kunjung kabur. Ancaman Apindo itu hanya gertakan untuk membuat buruh resah dan ragu, dan gertakan ini sudah dijawab oleh kawannya sendiri. Gerakan buruh satu tahun belakangan ini menguat karena faktor-faktor ekonomi (faktor objektif) di atas, dan akan semakin menguat kalau semakin banyak buruh (yakni faktor subjektif) yang tahu akan kebenaran-kebenaran di atas, yang akan membuatnya semakin tegas dalam perjuangan.

Kisah perjuangan buruh belum berubah sama sekali. Ia terus terulang-ulang, yang sebenarnya menyedihkan karena ini berarti buruh masih tertindas. Kalau kaum buruh berhenti sejenak untuk mengamati sekelilingnya dengan cermat, ia akan dapat memahami kisah ini. Dan kalau ia memahaminya dengan sangat baik, ia tidak akan lagi menjadi aktor tak berdaya di dalam kisah perjuangan ini. Ia akan menjadi aktor utama. Dan bahkan lebih dari itu, ia dapat menjadi sutradara dari kisah perjuangan ini, dan mengakhiri kisah ini dengan kemenangan mutlak kaum buruh atas seluruh ekonomi dan politik dan menjadi tuan dari nasibnya sendiri.

Roeslan adalah jurnalis dan aktivis buruh.

***

Foto: Aksi buruh

Tinggalkan Balasan