Solidaritas.net, Jakarta- Peradilan di Indonesia dalam menangani masalah eksekusi mati Mary Jane Veloso (MJV) terkesan hanya fokus pada proses penghukumannya belaka. Juga mengabaikan hukum acara pidana yang mengakibatkaan fakta tentang MJV sebagai korban human trafficking (perdagangaan manusia) menjadi terabaikan.
Sebagaimana dalam surat No:04/KNAKTP-Pimpinan/IV/2015, yang dikirim Komnas Perempuan kepada Presiden Joko Widodo pada Kamis (9/4/2015) lalu. Berdasarkan fakta perjalanan panjang MJV, Komnas Perempuan menjabarkan beberapa pasal yang seharusnya menjadi acuan keputusan presiden agar eksekusi mati terhadapnya dibatalkan.
MJV menerima tawaran rekannya untuk bekerja secara ilegal di Malaysia dan setibanya di sana ia diberi kabar bahwa tawaran berubah ke Yogyakarta, Indonesia. Saat itu setiap perjalanan MJV dan barang bawaannya telah diatur oleh temannya tanpa ia ketahui. MJV ditangkap di bandara Adi Sucipto Yogyakarta karena membawa narkotika.
Berangkat dari persoalan tersebut, menurut Komnas Perempuan seharusnya presiden memperhatikan pasal-pasal berikut:
- Pasal 1 Angka 1 UU No.21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
- Hal tersebut juga disebut dalam protokol palermo atau protokol untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak.
- Korban perdagangan orang yang dipaksa/rentan melakukan tindak pidana oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak bisa dipidana, sebagaimana yang diatur dalam pasal 18 UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO.
- Kesediaan MJV direkrut secara ilegal untuk bekerja keluar negeri oleh sindikat perdagangan manusia tidak mengurangi status dirinya sebgai korban, hal tersebut berdasarkan pasal 26 UU No.21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Protokol palermo pasal 3 huruf (b) juga menjelaskan demikian.
- Pasal 54 ayat (2) UU No.21 Tahun 2007 tentang PTPPO mengenai perlindungan korban dan saksi.
- Selama proses hukum MJV tidak didampingi penterjemah bahasa yang Ia mengerti yaitu bahasa Tagalog, hanya ada penterjemah bahasa Inggris. Hal ini bertentangan dengan KUHP Pasal 21 ayat (2) demikian pula pasal 177 ayat (1) KUHP
Komnas Perempuan sendiri berprinsip menghargai hak hidup orang dan menolak hukuman mati. Seperti yang diungkapkan oleh Komisioner, Ketua Komnas Perempuan Azriana “Presiden Joko Widodo, jangan eksekusi mati Mary Jane Veloso, cermati utuh kasusnya sebagai korban perdagangan orang.”