Solidaritas.net – Dalam aturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, dikenal istilah skorsing dan dirumahkan. Dari sisi pelaksanaan, keduanya sama-sama melepaskan kewajiban buruh untuk datang bekerja, dengan tetap mewajibkan pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak yang biasa diterima oleh buruh. Apakah perbedaan di antara keduanya?
Istilah skorsing ditemui dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berkaitan dengan tahapan melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam pasal 151 ayat (2) diatur jika pengusaha hendak melakukan pemutusan hubungan kerja, maka wajib dirundingkan terlebih dahulu dengan serikat buruh atau dengan buruh yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam pasal 151 ayat (3) diatur jika perundingan tidak mendapatkan kesepakatan, maka pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 155 ayat (2) mengatur bahwa selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, maka baik pengusaha maupun buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
Dalam pasal 155 ayat (3), inilah muncul istilah skorsing, yang berbunyi:
“Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”
Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa tindakan skorsing dilakukan oleh pengusaha kepada buruh, sebagai bagian dari tata cara atau prosedur untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan ketentuan selama masa skorsing, buruh tetap mendapatkan upah beserta hak lain yang biasa diterima olehnya.
Berbeda halnya dengan istilah dirumahkan yang muncul dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal. Surat edaran tersebut mengatur upaya pencegahan terhadap PHK dengan jalan melakukan upaya sebagai berikut:
1. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
2. Mengurangi shift;
3. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
4. Mengurangi jam kerja;
5. Mengurangi hari kerja;
6. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
7. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
8. Memberikan pensiun bagi yang telah memenuhi syarat;
Lebih lanjut dalam surat edaran ini disebutkan bahwa pemilihan alternatif dari hal-hal tersebut di atas wajib dirundingkan bersama antar pengusaha dengan serikat buruh atau wakil buruh, sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Sehingga dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa upaya merumahkan adalah salah satu dari sekian upaya yang wajib dilakukan oleh pengusaha, justru untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja.