Cikarang – Dua puluhan perempuan berkumpul di malam itu, bercerita tentang nasib mereka sebagai buruh “magang” di sebuah pabrik otomotif. Mereka baru saja lulus dari sekolah menengah kejuruan, diangkut dari Jawa Tengah dan disalurkan ke pabrik oleh yayasan penyalur.
“Untuk tiga bulan saja di pabrik ini, katanya. Kami dijanjikan akan dikuliahkan,” ucap RH, sebut saja namanya begitu.
RH tak pernah menyangka magang yang katanya untuk latihan kerja sambil kuliah itu adalah kerja selama 8 jam di pabrik dan seringkali diwajibkan lembur.
Ia dan rekan-rekannya dibayar hanya Rp2,1 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum kabupaten (UMK) Bekasi Rp3,2 juta. Upah lembur hanya Rp10 ribu per jam untuk membayar tenaga mereka yang sudah kelelahan setelah 8 jam bekerja.
Upah mereka dipotong Rp400 ribu sebulan untuk biaya transportasi (jemputan) kerja. Mereka juga diharuskan tinggal di kamar kontrakan yang ditunjukan oleh penyalur. Setiap kamar dihuni lima orang di mana setiap orang harus membayar Rp200 ribu lagi sebagai uang sewa. Jadilah mereka hanya mengantongi Rp1,5 juta per bulan.
Ia sangat khawatir karena ijazahnya ditahan oleh yayasan penyalur sebagai jaminan pembayaran cicilan uang kuliah.
“Kami yang mau kuliah harus bayar Rp3 juta sebagai pendaftaran. Biaya SPP Rp600 per bulan. Kampus itu milik yayasan,” katanya.
Ada oknum guru yang terlibat dalam perekrutan tersebut. Hal ini juga yang membuat mereka dan orang tua percaya anaknya akan berhasil dengan mengikuti “pemagangan” itu. Biaya penempatan sebesar Rp2 juta pun dibayarkan oleh orang tua mereka kepada yayasan penyalur.
Masalah lain datang, mereka tidak nyaman dengan pelecehan verbal yang dilakukan oleh supir antar-jemput mereka.
“Gimana, ya? Saya takut. Kadang-kadang sendirian di mobil. Supirnya seperti mau yang lain,” tutur RH.
Setelah tiga bulan, mereka akan ditempatkan di perusahaan lain dengan status yang sama seperti sebelumnya, sebagai buruh magang. Dalam penutup kisahnya, ia mengungkapkan ada banyak lagi buruh “magang” seperti dirinya yang disalurkan ke perusahaan-perusahaan lain, termasuk perusahaan yang memproduksi merek-merek ternama.
Dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan pengertian perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Tindak pidana perdagangan orang diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).